TELENEWS.ID – Sarifuddin Sudding selaku Anggota Komisi III DPR meminta kepada Jaksa Agung agar menindak delapan perusahaan tambang emas yang diduga melakukan pelanggaran dengan pencucian emas. Sarifuddin membeberkan bahwa para korporasi menggunakan modus baru yakni korporasi seakan-akan mengimpor emas padahal emas tersebut berasal dari penambangan liar. Hal ini jelas menyalahi hukum.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Jaksa Agung, ST Burhanuddin di Kompleks Parlemen Jakarta Senin (14/6) kemarin, Sarifuddin berkata jika selama ini bukan hanya terjadi money laundry atau pencucian uang saja, melainkan juga ada pencucian emas. Hal ini banyak terjadi dan ditemui di pertambangan emas baik yang ilegal maupun yang dilegalkan oleh negara. Tentu ini menjadi perhatian agar segera ditindak sebab dapat merugikan negara.
Sarifuddin mengungkapkan, berdasarkan data dari Ditjen Bea Cukai Kemenkeu, sejumlah perusahaan tambah emas yang terindikasi melakukan pencucian emas ini antara lain PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, PT Lotus Lingga Pratama, PT Royal Raffles Capital, PT Viole Davina, PT Indo Karya Sukses, PT Karya Utama Putra Mandiri dan PT Bumi Satu Inti.
Menurut Sarifuddin, kedelapan korporasi tersebut melakukan pencucian emas dengan modus baru. mereka mengimpor emas dari luar negeri, seperti Singapura. Namun, berdasarkan penelusuran dari Bea Cukai, ternyata impor hanyalah dalih dan akal-akalan dari perusahaan tersebut untuk menutupi aktivitas tambang emas ilegal milik mereka.
“Ada delapan perusahaan yang terindikasi melakukan pencucian emas yang sama sekali tidak ada impor emas dari Singapura, tapi seakan-akan ada. Jadi, ini ada modus baru lagi. Saya minta Pak Jaksa Agung perhatian,” tuturnya Sarifuddin.
Akibat praktik culas dari para korporasi tersebut, negara berpotensi merugi hingga senilai Rp293 miliar.
Selain meminta menindak aktivitas pencucian emas, Anggota Komisi III DPR tersebut juga meminta agar Kejaksaan Agung (Kejagung) menindak mafia lahan di pertambangan. Modus para mafia itu yakni berupa penerbitan sertifikat serta hak guna bangunan (HGB) di atas lahan perusahaan tambang.
“Cukup banyak pengaduan yang kita terima di daerah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, di mana mereka sudah memiliki IUP (izin usaha tambang), tiba-tiba muncul hak guna bangunan (HGB) di atasnya,” terangnya.
Sarifuddin mengatakan bahwa munculnya sertifikat dan HGB bodong tak lepas dari adanya kerja sama antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan pihak yang menerbitkan HGB di daerah.
Hal ini menurutnya perlu ditelusuri lebih jauh agar tidak berdampak buruk dan menimbulkan kerugian di kemudian hari. Baik bagi lingkungan, maupun negara. (Uswatun)