Home Internasional Alasan Dibalik Mengapa China Begitu Keras Kepala di Natuna

Alasan Dibalik Mengapa China Begitu Keras Kepala di Natuna

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Insiden masuknya kapal-kapal nelayan China yang dikawal penjaga pantai China ke kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) perairan Natuna mengingatkan kita pada insiden Juni 2016 saat KRI Imam Bonjol-383 menembak kapal-kapal China yang terpergok mencuri ikan di kawasan itu.

Sebagai respon atas sikap China yang dianggap melanggar kedaulatan Indonesia, pada saat itu, Presiden Jokowi bahkan mengadakan rapat terbatas di KRI Imam Bonjol-383. Adapun rapat terbatas saat itu dapat diinterpretasikan sebagai diplomasi kapal Meriam Indonesia yang tidak kompromis dalam hal kedaulatan.

Dalam sejarah hubungan antarnegara, isu perbatasan merupakan isu paling kompleks dan pelik. Terlebih lagi soal perairan Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan dimana selama berpuluh-puluh tahun terjadi klaim tumpang-tindih mengenai status kepulauan Spratly dan Paracel antara China dan beberapa negara ASEAN. Walaupun Indonesia bukan negara pengklaim, namun Indonesia sudah jelas punya kepentingan dan memiliki otoritas terhadap Natuna.

Adapun masuknya kapal-kapal milik China di perairan Natuna bukan hanya dari sekadar ketidaksengajaan. Lebih dari itu, dibaliknya ada agenda besar yang tidak dapat dipisahkan dari strategi geopolitik China di Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan perairan Natuna.

Masalah konflik perbatasan di Laut Cina Selatan memang kompleks karena bukan hanya melibatkan benturan kepentingan antarnegara, melainkan perbedaan cara pandang dan cara menyikapi antarnegara terhadap konflik perbatasan maritim tersebut.

Upaya secara bilateral maupun multilateral sebenarnya sudah dilakukan khususnya melalui ASEAN yang akhirnya disepakati kode tata berperilaku di Laut Cina Selatan. Sebenarnya, aturan main yang dibuat oleh ASEAN sudah ditaati oleh China. Namun pada kenyataannya, China bersikap hipokrit dengan terlalu sering bertindak secara agresif di perairan kawasan sengketa itu. Jelas China menunjukkan perilaku yang kontradiktif.

Kesulitan terbesar dalam mencari titik temu di antara China dan Indonesia dalam konteks isu Natuna adalah perbedaan cara pandang terhadap masalah tersebut. China, di lain sisi, menggunakan legitimasi pendekatan historis guna menjustifikasi tindakan agresifnya tersebut.

Klaim pemerintah Beijing terhadap wilayah perairan Natuna adalah perairan itu masuk ke dalam perta ‘Sembilan Garis Putus-Putus’ atau ‘nine dash line’ yang berarti menandai batas-batas kekuasaan China di kawasan Laut Cina Selatan yang bagi mereka, mereka berhak melakukan apa saja di wilayah itu termasuk mencari ikan karena kawasan yang masuk peta itu merupakan ‘traditional fishing ground’ bagi China.

Terkait hal ini, perlu disimak pernyataan dari Liu Xiaoming selaku Duta Besar China untuk Inggris menyatakan bahwa kawasan sengketa perairan Natuna tersebut sudah menjadi ‘milik’ china sejak Dinasti Han sejak 200 M. dilansir dari rilis Kementerian Luar Negeri China pada 2016, jika klaim tersebut benar maka China sudah menguasai wilayah itu selama lebih dari 2.000 tahun.

Selama ratusan tahun menurut Liu, nelayan-nelayan China telah terbiasa mencari ikan di perairan Natuna tersebut. Sekitar abad ke-14 pada masa Dinasti Ming sampai dengan Dinasti Qing pada abad ke-20, para pelaut China telah membuat sebuah peta pelayaran yang dinamakan ‘Geng Lu Bu’

Pada tahun 1982 masalah pun muncul ketika UNCLOS mengatur wilayah yurisdiksi para negara yang langsung berbatasan dengan laut Cina Selatan dengan memunculkan istilah-istilah baru seperti landas kontinen, ZEE (zona ekonomi eksklusif), dan lain-lain. Istilah-istilah ini juga secara tidak langsung memberi hak bagi negara-negara sekitar kawasan Laut Cina Selatan guna mengklaim dan melegitimasi wilayahnya berdasarkan aturan dari UNCLOS tersebut.

Sebenarnya, Indonesia juga secara legal-formal memiliki hak atas Natuna karena masuk ke dalam zona ekonomi eksklusif sebagaimana aturan UNCLOS. Oleh sebab itu, klaim Indonesia atas Natuna adalah sah di mata hukum internasional.

Sayangnya, China tidak mengakui klaim yuridis itu. Sekalipun tampaknya China menunjukkan sikap mendua terhadap instrumen hukum maritim internasional ini, China terlibat aktif dalam membidani UNCLOS dan meratifikasinya pada tahun 1996.

China sebenarnya menghadapi dilemma ketika mengadopsi UNCLOS karena diketahui banyak dari ketentuan UNCLOS yang justru berbenturan dengan kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu belakangan dalam tubuh pemerintah China mulai santer untuk mempertimbangkan apakah China hendak bertahan dengan UNCLOS apakah hendak keluar.

Ketimbang menggunakan kerangka hukum internasional, China sebenarnya mengedepankan sudut pandangnya sendiri dalam mengelola konflik dengan negara-negara di sekitar kawasan Laut Cina Selatan. Perkembangan ini yang membuktikan klaim legitimasi China terhadap kawasan perairan tersebut.

Bukti yang kentara terhadap langkah China adalah penolakan China terhadap hasil keputusan Mahkamah Arbitrase di Den Haag yang rupanya memenangkan tuntutan Filipina terhadap Laut Cina Selatan.

Berdasarkan rilis resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri China pada tahun 2016, mereka menyatakan bahwa kepentingan maupun kedaulatan China di Laut Cina Selatan tidak terpengaruh terhadap keputusan yang dihasilkan Mahkamah Arbitrase tersebut.

Alasan China yang menggunakan pendekatan historis ini dinilai tidak cocok dengan pendekatan yuridis UNCLOS. China merasa bahwa kerangka hukum internasional tidak bisa diterapkan untuk memajukan kepentingannya di wilayah Laut Cina Selatan sebagai salah satu negara yang memiliki sejarah peradaban yang paling tua di muka bumi, klaim China adalah memiliki otoritas terhadap perairan itu.

Tak hanya itu, China juga merasa tidak harus tunduk terhadap UNCLOS dan segala aturannya meskipun China telah menjadi negara pihak. Sebabnya, bagi China, identitas nasional yang telah terbentuk selama ribuan tahun rupanya jauh lebih berarti daripada instrumen hukum hasil kesepakatan internasional yang sah.

Oleh sebab itu bisa dipahami mengapa China begitu agresif dan keras kepala di kawasan Laut China Selatan termasuk Natuna. Faktor historis inilah yang membentuk jati diri China yang merasa memiliki otoritas terhadap Natuna.

“Jika kita ingin memahami bagaimana perilaku China terhadap negara-negara lain, mula-mula kita harus mengerti apa yang membuat China seperti adanya sekarang, bagaimana berkembangnya, dari mana asal bangsa China, dan bagaimana mereka memandang diri sendiri. Kita tidak akan mengerti sikap mereka terhadap negara-negara lain tanpa memahami terlebih dahulu pandangan mereka terhadap diri sendiri.” Tulis Martin Jacques dalam bukunya When China Rules the World. (Uswatun)

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

Inilah 5 Trik Mudah untuk Bebas Stress Menjelang Perayaan Natal

TELENEWS.ID - Tinggal hitungan hari lagi maka umat Kristiani akan bersuka cita merayakan Natal. Selayaknya hari besar lainnya, banyak persiapan yang harus...

Ladies, Kenali 6 Tanda Cowok Parasit yang Perlu Diwaspadai

TELENEWS.ID - Hubungan mantan pasangan Laura Anna dan Gaga Muhammad kembali memanas. Laura yang merasa dirugikan baik secara fisik maupun finansial, akhirnya...

Mengenal Situationship yang Bisa Menjebakmu Dalam Hubungan Toxic Tanpa Status

TELENEWS.ID - Apakah kamu memiliki seorang teman yang memperlakukan kamu dengan mesra, dan memberikan perhatian lebih dari seorang teman? Akan tetapi sayangnya,...

Hati-hati, Dokter Peringatkan Bahaya Memakai Celana Jeans Ketat Bagi Organ Intim Wanita

TELENEWS.ID - Praktis, stylish dan bisa dipadukan dengan jenis busana apa saja membuat celana jeans menjadi salah satu item fashion favorit kaum...