Home Nasional Banjir Jakarta, Tradisi Menyalahkan Gubernur Terdahulu!

Banjir Jakarta, Tradisi Menyalahkan Gubernur Terdahulu!

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – DKI Jakarta adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang hampir setiap tahunnya selalu mendapatkan sorotan.

Setidaknya, ada 5 masalah utama yang seolah menjadi image atau citra yang sudah melekat dari provinsi tersebut, yakni masalah banjir, masalah kemacetan, sampah, pengangguran dan yang terakhir adalah masalah korupsi.

Dari sekian banyak masalah yang menerpa ibukota Republik Indonesia tersebut, masalah banjir memang sudah menjadi agenda yang masuk ke dalam pembahasan dari setiap media yang ada di Indonesia. Sejak zaman VOC berkuasa di Nusantara, masalah banjir di Jakarta ini memang tidak bisa sepenuhnya tuntas dan sudah banyak solusi dan kebijakan yang dilakukan untuk menanggulangi ini.

Puncaknya, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan ibukota ke Pulau Kalimantan, salah satu aspek yang menjadi pertimbangan adalah meminimalisir aspek bencana yang terjadi di ibukota saat ini, yakni Jakarta. Presiden Joko Widodo menilai, aspek bencana seperti banjir, gunung meletus, tanah longsor bisa terminimalisir di Pulau Kalimantan sana.

Terjadi Sejak Zaman Dahulu

Permasalahan air di Jakarta ini sudah terjadi bahkan sejak Kerajaan Tarumanegara masih berkuasa saat itu. Pada saat itu banyak pedagang-pedagang asing yang berlabuh di muara Sungai Ciliwung dan mereka heran pusat aktivitas perdagangan justru dilakukan d daerah yang terlihat seperti rawa-rawa ini. Namun, lokasi Jakarta ini dulunya sangat strategis karena di tengah jalur pelayaran dari Timur ke Barat.

Setelah VOC menguasai Jakarta, mereka kemudian menata ulang tata kota wilayah ini dan diberi nama Batavia.

Sekilas, layout atau tata letaknya seperti kota Amsterdam, di mana banyak terusan-terusan yang digali yang terhubung dengan sungai Ciliwung. Tujuannya dibuat terusan itu adalah untuk lalu lintas air dan juga sebagai alat pertahanan.

Akan tetapi, sistem kanal yang saat itu diprakarsai oleh Jan Pieterszoon Coen belum mampu mengatasi masalah banjir di Batavia tersebut.

Banjir besar di zaman kolonial terjadi saat Gubernur Jenderal Johan Paul Van Limburg Stirum pada tahun 1928. Dua tahun berselang, dirinya membuat solusi dari masalah ini dengan membangun Kanal Banjir Barat.

Total biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sejak VOC berkuasa hingga akhirnya diserahkan kembali ke kerajaan Belanda untuk mengatasi solusi banjir ini menghabiskan dana 300.000 Gulden lebih. Namun, tetap saja belum bisa mengatasi masalah banjir di Jakarta, meskipun saat itu teknologi yang digunakan dianggap yang paling mumpuni.

Banjir Besar di Jakarta

Permasalahan banjir di Jakarta ini masih berlanjut terus, bahkan setelah Indonesia merdeka.

Gubernur Ali Sadikin pada taun 1965 bahkan harus menggandeng pihak asing untuk membuat waduk yang ada di dalam kota, sampai membuat saluran air baru yang berada di Cengkareng dan juga Cakung. Namun, banjir besar masih terjadi dan puncaknya di tahun 1976.

Banjir besar kemudian kembali menerpa Jakarta di saat kepemimpinan Sutiyoso yang terjadi pada tahun 2007 yang lalu. Saat itu dalam bencana banjir tersebut Jakarta harus kehilangan 80 korban jiwa dan juga menyebabkan hampir 300.000 jiwa harus terkena dampaknya.

Kejadian tersebut melumpuhkan kegiatan bisnis di Jakarta dan mengalami kerugian triliunan rupiah.

Banjir Jakarta Akibat Kesalahan Gubernur?

Seperti sudah menjadi tradisi sejak dahulu, permasalahan banjir di Jakarta ini dinilai bukan karena kondisi alam atau faktor geologi yang ada. Akan tetapi, kesalahan dari Gubernur terdahulu yang membuat solusi atau kebijakan dalam menangani masalah banjir ini.

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo pernah berkomentar mengenai hal ini.

“Saya baru setahun, yang 20 tahun yang 30 tahun memimpin Jakarta sudah apa?” katanya dalam sebuah wawancara. Akan tetapi, Joko Widodo enggan untuk memberikan rincian mengenai pernyataannya tersebut. Dirinya hanya menambahkan “ini imbas dari yang dulu.” Tambahnya.

Joko Widodo sendiri memiliki beberapa program untuk menanggulangi masalah banjir ini seperti memperbaiki tanggul di Waduk Pluit, kemudian Waduk Ria Rio, Waduk Ciracas dan juga Waduk Tomang.

Namun, program itu harus terhenti karena Joko Widodo mengundurkan diri dari jabatannya untuk mengikuti pemilihan Presiden.

Saat era kepemimpinan Ahok di DKI Jakarta, dirinya juga sempat menyindir Gubernur yang terdahulu, namun bukan dari kebijakan dan juga progam penanganan banjir tetapi dari segi perizinan. Saat itu Ahok mempermasalahkan IMB yang dikeluarkan melalui Pergub yang mengizinkan pembangunan lahan di pinggiran kali Krukut.

Ahok akhirnya menghapus pemberian izin mendirikan bangunan di daerah bantaran kali. Hal itu untuk mencegah pihak yang ingin mengajukan izin untuk mendirikan bangunan di daerah bantaran kali tidak diberikan akses.

Namun, Ahok memiliki solusi untuk menangani banjir di Jakarta dengan melakukan normalisasi sungai.

Sepak Terjang Anies Baswedan dalam Menangani Banjir

DKI Jakarta sudah berusia hampir 5 abad, namun hingga saat ini salah satu penyakit kronis yang melanda Jakarta ini masih belum sembuh yakni masalah banjir.

Kini, Jakarta dipimpin oleh salah satu sosok yang pernah memegang peranan penting di Pemerintahan dengan menjabat sebagai Menteri Pendidkan yakni Anies Baswedan.

Sejak kemenangannya atas Ahok-Djarot dalam pilkada DKI lalu, dirinya memiliki beban yang berat untuk mengatasi 5 permasalahan di Jakarta ini. Masalah kebanjiran adalah PR besar yang harus dituntaskan oleh Anies, setidaknya sampai masa jabatannya selesai nanti. Akan tetapi, publik masih belum melihat ada perubahan yang signifikan dari solusi Anies ini.

Pernyataan mengejutkan sempat dikatakan Anies bahwa untuk menanggulangi banjir di Jakarta ini satu-satunya cara adalah dengan mengembalikan air ke laut yang ada di Teluk Jakarta. Tidak ada yang salah memang dengan solusinya ini, karena pada hakikatnya semua air akan dbuang ke laut. Akan tetapi, sepertinya ada salah satu hal yang luput dari solusi tersebut.

Kontur wilayah Jakarta merupakan salah satu area yang berbentuk seperti sebuah mangkuk. Jadi, banyak air yang terdapat di bagian tengahnya dengan volume yang sangat besar. Sementara setiap tahunnya permukaan air laut di Jakarta sendiri mengalami kenaikan, sehingga jika air dibuang ke laut tersebut, ada kemungkinan untuk kembali ke daratan lagi.

Akan tetapi, Anies tidak menggunakan solusi yang pernah dicetuskannya tersebut. Anies menyebut solusi untuk mengatasi banjir di Jakarta adalah dengan cara Naturalisasi yaitu dengan cara menghidupkan kembali ekosistem sungai. Anies juga membangun tanggul yang ada di pesisir Jakarta, dan dengan program drainase vertikal di mana membangun wilayah yang tanahnya mampu menyerap air.

Sekilas metode drainase vertikal tersebut bertentangan dengan hakikat bahwa air harus dibuang ke laut, namun dikembalikan ke dalam tanah. Menurut Anies, dirinya yakin bahwa proses naturalisasi ini akan meminimalisir dampak banjir dan masyarakat bisa merasakannya pada akhir 2019.

Naturalisasi ini adalah versi tingkat lanjut dari Normalisasi yang dicanangkan sejak Joko Widodo ketika menjabat sebagai Gubernur dalam menangani banjir. Namun yang membedakan adalah jika normalisasi, sungai dikeruk dan menggusur warga yang tinggal di bantaran sungai tersebut. Sedangkan naturalisasi versi Anies adalah menggeser warga yang tinggal di bantaran sungai tersebut.

Anies membuat Draf perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2017 hingga 2021. Dalam perubahan tersebut, dirinya mengubah Program Normalisasi Sungai menjadi Program Naturalisasi Sungai yang tertera dalam halaman IX-105.

Dalam draf tersebut disebutkan bahwa upaya Pemprov DKI Jakarta untuk mengurangi dampak dari rusaknya air adalah dengan membangun dan juga merevitalisasi prasarana sumber daya air dengan cara membuat konsep naturalisasi.

Dalam konsep tersebut dijelaskan bahwa cara tersebut untuk mengembangkan Ruang Terbuka Hijau dengan pengendalian fungsi banjir dan revitalisasi.

Menanggapi hal tersebut, rival Anies saat ajang Pilgub DKI 2017 yang lalu, Ahok mengatakan bahwa Anies memiliki pengetahuan yang lebih dibandingkan dirinya dalam memilah kata Normalisasi dan juga Naturalisasi.

“Aduh soal kata-kata begitu Pak Gubernur sekarang lebih pintar dari saya.” Ucap Ahok pada tahun 2019 yang lalu.

Permasalahan banjir di Jakarta memang bukan sepenuhnya tugas dari Gubernur yang berkuasa saja, akan tetapi dari masyarakatnya juga harus bahu membahu dalam menjaga kebersihan lingkungan.

Akan tetapi, terlepas dari hal tersebut, Jakarta memang membutuhkan sosok pemimpin yang tidak saja memiliki konsep matang, namun juga harus tegas dan tidak cepat puas dengan kinerjanya.

Sebab, yang bisa menilai kinerja adalah warga DKI sendiri yang melihat bagaimana perkembangan kota mereka setiap 5 tahun sekali. (Latief)

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

Ragam Tradisi Unik Penuh Makna Keluarga Tionghoa Dalam Menyambut Imlek

TELENEWS.ID - Tradisi masyarakat Tionghoa dalam menyambut Imek atau tahun baru China pastinya memberi makna tertentu. Kali ini di tahun 2022, perayaan...

Status Kelurahan Krukut Tidak Lagi Zona Merah Covid 19, Micro Lockdown Dicabut

TELENEWS.ID - Banyak daerah khususnya di DKI Jakarta mendapat status level 2 dan juga menerapkan micro lockdown. Hanya saja semenjak varian Omicron...

Doyan Sindir Anies Baswedan, Wagub DKI Ke Giring: Tunjukkan Kinerja Dan Prestasi

TELENEWS.ID - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria angkat bicara soal aksi saling sindir antara Gubernur Anies Baswedan dengan Ketua Umum...

Tidak Ada Tempat Bagi Koruptor, Indonesia – Singapura Tanda Tangan Perjanjian Ekstradisi

TELENEWS.ID - Sejak tahun 1998, Indonesia dan Singapura telah melakukan berkali-kali untuk mengukuhkan perjanjian ekstradisi untuk kedua negara namun selalu gagal. Diketahui...