TELENEWS.ID – Berita mengejutkan datang dari Mahkamah Agung yang memotong hukuman pada terdakwa kasus korupsi di tanah air. Kali ini, sosok yang mendapatkan “Jackpot” tersebut adalah Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang divonis dengan kasus suap ekspor benih lobster. Mahkamah Agung memotong hukuman dari Edhy Prabowo yang tadinya 9 tahun menjadi 5 tahun.
Jaksa KPK, Ronald Worotikan dalam tuntutannya pada 19/6/2021 di Pengadilan Tipikor Jakarta saat itu menuntut Edhy Prabowo dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda sebanyak Rp. 400 juta dengan subsider 6 bulan kurungan. Edhy terbukti menerima uang suap dengan nilai Rp. 25 MIliar dari pengusaha bidang eksportir benur.
Hakim sependapat dengan tuntutan Jaksa dan memvonis Edhy dengan hukuman 5 tahun penjara. Dirinya kemudian mengajukan banding dan hukuman Edhy ditambah menjadi 9 tahun penjara. Namun pada hari Rabu (9/3/2022) Mahkamah Agung memutuskan untuk memotong hukuman Edhy selama 4 tahun, jadi Edhy tetap dihukum 5 tahun penjara sesuai dengan tuntutan Jaksa KPK.
Alasan Potongan Hukuman dan Vonis Rendah yang Tidak Masuk Akal
Sudah pasti, kecaman datang dari berbagai pihak yang merasa alasan MA memotong durasi menginap Edhy di sel berkurang. MA meilai, Edhy memiliki kelakuan baik selama menjadi menteri, yakni dengan membuka ekspor benur. Indikator bekerja selama satu tahun dan uang hasil korupsinya sudah habis dibelanjakan sebelum tertangkap, sangatlah tidak bisa diterima oleh logika sebagian masyarakat di tanah air.
Disamping alasan yang tidak masuk akal tersebut, kejadian ini juga sekaligus menambah panjang daftar vonis pendek yang diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Sebut saja seperti Djoko Tjandra, Jaksa Pinangki, RJ Lino, Julian Batubara, dan Azis Syamsudin yang mendapat vonis tidak lebih dari 4 tahun penjara.
Korupsi, seharusnya dikategorikan sebagai tindak pidana yang bisa menghapus semua kebaikan yang dilakukan oleh pelakunya. Meskipun dalam pekerjaannya dinilai bagus, dengan mengeluarkan kebijakan yang pro rakyat atau bisa membawa keuntungan bagi negara, namun jika sekali saja menjadi pelaku korupsi, maka publik tidak akan melihat hasil kerja keras pelakunya.
Korupsi Sebagai Extraordinary Crime
Di Indonesia, korupsi dinilai sebagai kejahatan luar biasa, yang mana dalam proses penegakan hukum dan juga pemberantasannya juga harus dilakukan dengan cara yang luar biasa. Keberanian hakim dalam memberikan hukuman yang bisa memberikan efek jera bagi koruptor ini mutlak dilakukan. Namun, selama ini, belum ada koruptor yang diberi hukuman dengan efek jera.
Sejauh ini, koruptor yang mendapatkan tuntutan hukuman mati adalah Heru Hidayat atas kasus Asabri. Dirinya menyebabkan negara mengalami kerugian hingga 22 Triliun. Namun, dirinya masih dapat lolos dari hukuman mati tersebut karena mendapat vonis nihil dari pengadilan.
Tindak pidana korupsi ini bukanlah sebuah kejahatan yang biasa, yang penanganan mulai dari proses penyidikan hingga tingkat Mahkamah Agung selalu disorot oleh masyarakat. Vonis ringan yang diberikan oleh hakim seolah tidak memberikan ketakutan bagi para pelaku korupsi yang masih bebas. Malah, publik sering mendengar berita mengenai Kepala Daerah yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang jumlahnya semakin naik.
Potong Masa Tahanan Bukan Cerita Baru
Diskon besar-besaran di dunia korupsi tanah air ini bukanlah cerita baru, karena sudah banyak terdakwa yang dipotong masa tahanan, bahkan ada yang sampai bebas. Jaksa Pinangki, misalnya mendapatkan diskon sebesar 60% dari vonis 10 tahun menjadi 4 tahun kurungan penjara.
Alasannya, karena Pinangki mengaku menyesal dan bersalah, padahal profesinya adalah jaksa yang notabene harus menegakkan hukum di Indonesia. Alasan kemanusiaan juga menjadi penyebab Pinangki mendapat potongan, karena dirinya memiliki anak yang masih balita dan harus mendapatkan perhatian khusus.
Potongan masa tahanan bagi para koruptor ini pastinya selalu menjadi sorotan oleh publik. ICW, pada tahun 2019-2020 merilis data yang menyebutkan bahwa ada 134 terdakwa korupsi yang mendapatkan vonis bebas atau dipotong masa tahanannya lewat jalan kasasi di Mahkamah Agung. Sehingga, jika dihitung secara matematis, jumlah vonis yang dijalani oleh koruptor rata-rata selama 3,5 tahun.
Hukuman tersebut tentu saja mencederai kepercayaan publik terhadap kinerja dari penegak hukum. Masyarakat masih berharap aparat hukum berani membuat sebuah hukuman yang tidak saja menimbulkan efek jera bagi pelakunya, namun juga sebagai peringatan bahwa tindak pidana korupsi ini merupakan kejahatan yang paling kejam di Indonesia. (Latief)