TELENEWS.ID – Pada Senin (30/05/2022) lalu, Plt.Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nizam merilis jumlah lulusan sarjana S1 dan diploma tahun 2022 diperkirakan mencapai 1,5 juta orang. Data terbaru dari badan pusat statistik (BPS) per Februari 2022 juga menyatakan bahwa pengangguran di Indonesia mencapai 5,83% dari total penduduk usia produktif yaitu sekitar 208,54 juta orang. Hal miris adalah dari 5,83% ini, 14 juta orang di antaranya merupakan lulusan sarjana strata satu.
Sementara di tahun yang sama, pertumbuhan lapangan pekerjaan di Indonesia hanya sekitar 300,000 hingga 400,000 lapangan pekerjaan baru saja yang tersedia. Hal ini menimbulkan ketimpangan yang luar biasa dan hal ini dipengaruhi adanya disrupsi teknologi. Disrupsi teknologi ini merupakan salah satu hal yang menyebabkan beberapa pekerjaan atau layanan yang biasanya dilakukan oleh manusia, kini menjadi menggunakan mesin, robot, atau bersifat digital. Salah satu yang sangat terlihat di masyarakat adalah gerbang tol di berbagai daerah di Indonesia yang sudah dilakukan tanpa peran manusia.
Karena timpangnya kebutuhan lapangan kerja ini, para lulusan dari berbagai sekolah dan universitas mengambil jalan pintas. Mereka sudah tidak peduli dengan jurusan atau pembelajaran yang selama ini mereka emban di bangku pendidikan. Asalkan mendapat pekerjaan, gaji setiap bulan, perilaku konsumtif terpenuhi, bahkan mampu mencukupi kebutuhan keluarga, latar belakang pendidikan menjadi urutan terbawah dalam prioritas mencari pekerjaan layak. Hal ini akhirnya menciptakan lapangan pekerjaan alternatif bagi mereka, antara lain kasir supermarket, driver ojek online (ojol), tiktokers, selebgram atau youtubers, sampai “kupu-kupu malam”.
Di antara beberapa alternatif pekerja ini, menjadi sopir ojol menjadi pilihan favorit. Hal ini juga dipicu dari merosotnya ekonomi Indonesia pasca pandemi covid-19 di mana banyaknya perusahaan yang tutup sementara, jumlah produksi menurun, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi dimana-mana. Pengangguran meningkat sementara lapangan pekerjaan menjadi semakin kecil karena berbagai pihak melakukan efisiensi pengeluaran dengan tidak merekrut banyak karyawan. Sementara dengan menjadi sopir ojol, kemudahan mendaftar dan kemungkinan diterima sebagai partner sangat besar inilah yang menjadikan hal ini pilihan terbaik.
Salah satu survei yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia atau LD FEB UI menyatakan bahwa 75% sopir gojek merupakan lulusan setara SMA dan 15% lainnya merupakan lulusan setara S1. Penelitian ini sendiri dilakukan pada tahun 2018 kepada sekitar 3,315 sopir gojek. Menurut salah satu peneliti LD FEB UI, Paksi Walandouw, kehadiran perusahaan ojek online ini menimbulkan disruptive force yang cukup positif kepada masyarakat Indonesia terutama mengurangi pengangguran. Berdasarkan survei lain menyebutkan bahwa pendapatan sopir gojek dalam sebulan mampu mencapai 3,48 juta rupiah atau 1,25 kali lebih besar dibandingkan standar gaji UMR di beberapa daerah di Indonesia.
Sementara itu Sosiolog Universitas Indonesia, Musni Umar menyatakan banyaknya lulusan sekolah maupun universitas mendaftar menjadi bagian dari sopir gojek adalah karena mereka tidak memiliki pilihan lain untuk mencari nafkah. Memang dari beberapa sopir ojek online ini ada di antaranya yang tetap berhasil bekerja karena hanya memanfaatkan sopir ojol ini sebagai batu loncatan. Namun tidak sedikit juga yang menjadikan ojol ini menjadi mata pencaharian utama mereka.
Salah satu pekerjaan rumah dari seluruh mahasiswa dan siswa yang masih aktif di bangku pendidikan serta tenaga pengajar adalah mulai berusaha untuk mengubah pola pemikiran mereka untuk tidak bekerja, melainkan menjadi wiraswasta dan membuka lapangan pekerjaan. Hal ini juga diharapkan mampu menggantikan berbagai perusahaan yang terpaksa bangkrut atau tutup serta melakukan PHK besar kepada karyawannya.
Selain itu, dilema lain yang dirasakan dengan banyaknya siswa dan mahasiswa yang terjun menjadi sopir ojek online berdampak negatif kepada sopir ojek online yang lebih berumur, lebih lama bekerja, maupun ojek pangkalan. Bagi sopir ojol yang sudah berumur dan sudah senior, dengan banyaknya anak muda menjadi pesaing mereka, para senior yang sudah berumur ini akhirnya lama kelamaan akan kalah dari sisi kecepatan mengambil penumpang serta kelincahan transaksi yang dilakukan. Kemampuan pengetahuan secara digital para anak muda ini jauh melebihi para senior yang sudah berumur dalam penggunaan teknologi. Hal itu menyebabkan senior ojol yang sudah berumur ini akan kehilangan banyak kesempatan dengan mendapatkan pelanggan.
CEO Gojek, Nadiem Makarim juga awalnya memperioritaskan ojek pangkalan yang akan mendaftarkan diri menjadi sopir ojol. Hal ini dikarenakan lebih terjaminnya pendapatan mereka dengan aplikasi dibandingkan manual. Masyarakat pun lebih memiliki transportasi online ketimbang manual karena tarif dan jarak sudah terarah oleh sistem dibandingkan manual yang masih harus melakukan tawar menawar yang tidak pasti. Namun dengan banyaknya anak muda lulusan SMA dan S1 yang menjadi bagian dari ojol ini, semakin menipiskan jatah dan kesempatan bagi para ojek pangkalan yang ingin bergabung.
Salah satu alasan lain dari sisi positif munculnya disrupsi teknologi adalah pendapatan yang lebih besar bagi sopir ojol serta terbukanya lapangan pekerjaan yang jauh lebih banyak. Pandemi covid-19 yang menciptakan semi lockdown di beberapa daerah di Indonesia menumbuhkan metode belanja online dari berbagai bentuk kebutuhan hidup sehari-hari bahkan jasa. Salah satu yang hingga saat ini, walau pandemi covid-19 sudah berlalu adalah makanan. Berbagai aplikasi saat ini sudah menjadi kebutuhan wajib yang harus diberikan kepada pengguna khusus untuk antar jemput makanan dan barang.
Dari berbagai aplikasi yang muncul dengan inovasi jasa pengantar makanan online menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan dibutuhkan banyaknya sopir ojek online untuk melakukan jasa ini. Selain itu dari restoran atau tempat makan sendiri sebagai penyedia, juga pastinya membutuhkan karyawan tambahan untuk mengakomodasi permintaan konsumen. Selain makanan, munculnya belanja online yang merupakan perusahaan supermarket yang juga terpengaruh disrupsi teknologi. Juga akhirnya membuka peluang besar bagi masyarakat yang dapat bergabung sebagai sopir ojek online.
Cela masyarakat dalam meraup keuntungan terkait ojek online ini adalah dari cara ilegal yaitu calo (perantara). Calo ini akan membantu masyarakat awam yang tidak mengerti keperluan dan proses administrasi dalam mendaftarkan diri menjadi ojek online dengan meminta imbalan uang. Bagi masyarakat di kalangan berpendidikan seperti lulusan SMA dan sarjana, tidak akan terpengaruh dengan bujukan ini karena secara pendidikan mereka akan mengerti dan mampu melakukan kepengurusannya sendiri. Sementara masyarakat menengah ke bawah dengan pendidikan yang cukup rendah pastinya akan tergiur dengan bantuan seperti ini.
Bagi masyarakat awam, terbentuknya pemikiran bahwa menjadi ojek online sudah tidak memalukan, mampu membiayai hidup dengan layak dan halal, bahkan mampu menjadi batu loncatan untuk hal yang lebih besar, serta terbentuknya habitat baru menjadi mata pencaharian utama di Indonesia. Seluruh hal ini merupakan hal positif dan diharapkan terus berkembang serta sangat bergantung pada perusahaan yang menyediakan jasa seperti ini. Namun dari sisi pakar, tokoh masyarakat, serta pemerintah baik daerah maupun pusat, hal ini tetap menjadi ironis dan menyedihkan. Karena anak bangsa yang lulus sekolah serta universitas seharusnya mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dan sesuai dengan keahlian yang mereka pelajari. Cukup miris melihat mereka tidak memiliki semangat bertarung untuk melamar pekerjaan dan berjuang mendapat pekerjaan sesuai keahlian mereka. Mereka lebih memilih menjadi sopir ojol sebagai jalan pintas.
Selain itu mirisnya dunia pendidikan di Indonesia yang di mana mahasiswa dan pelajarnya belum mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri yang mampu menyerap tenaga kerja serta membantu perusahaan untuk semakin efektif bagi pencari pekerjaan. (Angela Limawan)