TELENEWS.ID – Era Orde Baru adalah era di mana Indonesia memiliki banyak proyek yang fantastis. Pembangunan Jalan Tol Jagorawi, yang merupakan Jalan Tol pertama di Indonesia dibangun pada masa kepemimpinan Soeharto. Terakhir, ajang SEA Games tahun 1997 adalah ajang internasional terakhir yang dilakukan pada zaman Soeharto tersebut. Tapi tahukah anda ada salah satu proyek yang gagal total di era kepemimpinan Soeharto tersebut?
Adalah Graha Garuda Tiara Indonesia, proyek pembangunan yang gagal pada masa Soeharto tersebut. Proyek ini merupakan salah satu proyek yang sedianya untuk membangun fasilitas yang bisa digunakan selama gelaran SEA Games 1997. Kompleks bangunan dari Proyek GGTI ini dibangun pada lahan seluas 44 hektar yang berada di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat.
Luas bangunan yang digunakan dari total 44 hektar ini adalah 5 hektar yang jika dilihat dari citra satelit akan membentuk bentuk burung Garuda Pancasila. Anggaran yang digunakan untuk membangun proyek ini sangatlah fantastis yakni sekitar Rp. 75 Miliar dengan kurs mata uang Dolar saat itu adalah Rp. 2.194,- per dolar Amerika serikat.
Rencananya, lokasi yang dulunya bekas hutan karet itu akan dibangun selama 2 tahap di mana tahap awal pembukaan lahan dan pembangunan pondasi dilakukan pada tahun 1995. Pekerjaan tersebut sempat tertunda di akhir 1995 dan dilanjutkan pada Agustus 1996 dengan pengerjaan yang sangat cepat.
Bangunan yang memiliki bentuk Garuda Pancasila ini akan digunakan sebagai wisma atlit untuk menyaingi kawasan Senayan yang dibangun pada masa Soekarno. Ada 5 Wisma yakni Wisma A, B, C, D, dan E dengan masing-masing total wisma tersebut bisa menampung hingga 456 kamar dan 1 kamar bisa diisi 4 hingga 8 orang.
Di bagian kepala dan dada Garuda digunakan untuk lobi dan ruang Konvensi dengan kapasitas 3 ribu orang sementara pada bagian ekor Garuda akan digunakan sebagai hotel untuk menginap para tamu dengan jumlah kamar sebanyak 196 kamar. Fasilitas lain yang tersedia di bangunan ini adalah lahan parkir luas, lapangan voli, lapangan basket, lapangan tenis dan juga kolam renang.
Sudah pasti, proyek ini dipimpin oleh Keluarga Cendana di mana saat itu Mbak Tutut mengelola yayasan dari GGTI ini. Hamper setiap bulan, Mbak Tutut memantau pembangunan dari proyek ini dan mengadakan kegiatan Kirab Remaja di GGTI.
Pembangunan mega proyek ini terhenti pada tahun 1998, seiring dengan jatuhnya Presiden Soeharto. Padahal, progress pembangunan sudah mencapai 80 persen dan terhenti begitu saja tanpa ada kejelasan. Kini, bangunan yang memiliki nilai proyek Rp. 75 Miliar telah rata dengan tanah dan yang terlihat saat ini hanyalah sisa pondasi yang menjadi saksi atas proyek ambisius di masa Orde Baru. (Latief)