TELENEWS.ID – Ramainya berita Aksi Cepat Tanggap yang diduga menggunakan dana umat untuk kepentingan petingginya, menjadi topik paling hangat minggu ini. Setidaknya, dana sebesar Rp. 250 juta masuk ke rekening pribadi petinggi dari ACT. Hingga kemudian, ada dugaan bahwa ada indikasi pendanaan terorisme yang ditemukan oleh PPATK.
Masing-masing pihak saling mengklaim dan bersikeras dengan argumen yang dimilikinya. PPATK tetap bersikukuh bahwa ada aktivitas terlarang yang mengarah kepada kegiatan terorisme melalui lembaga ACT ini. PPATK juga mengatakan ada aliran dana ke luar negeri, namun tidak disebutkan secara lebih rinci, ke negara mana dana tersebut mengalir. Sehingga, muncul parodi dari ACT yakni Aksi Cepat Tilap.
Sementara, dari pihak ACT, melalui Presidennya, Ibnu Hajar, dirinya mengatakan bahwa ACT sama sekali tidak berurusan dengan teroris.
“Dana yang disebut sebagai dana teroris itu dana yang mana? Jadi kalau dialokasikan dana teroris itu dana yang mana? Kami sampaikan ini supaya lebih lugas karena kami tidak pernah berurusan dengan teroris,” ujar Ibnu dalam konferensi pers, Senin (4/7/2022).
Meskipun demikian, Ibnu membenarkan bahwa ACT pernah memberikan bantuan kepada ISIS. Namun, pemberian bantuan tersebut bukanlah untuk mendanai kegiatan ISIS, melainkan sebagai bentuk dana kemanusiaan. ACT juga menyasar kepada korban perang, orang-orang jompo, dan juga keluarga yang terdampak dari Perang Suriah.
Terlepas dari kegiatan ACT yang dituding lebih mengarah kepada pendanaan terorisme, ada salah satu hal menarik untuk dicermati dalam kasus ini. Yang lebih ramai diperbincangkan masyarakat saat ini justru dari aliran dana ACT yang masuk ke rekening petinggi mereka dengan nilai yang fantastis.
Menurut Fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2011 menyebutkan bahwa Lembaga Amil Zakat diperkenankan untuk mengambil dana sebesar ⅛ atau hanya sekitar 12,5 persen dari total dana umat yang diterima. Namun, dalam hal ini, ACT bukanlah lembaga zakat, dan mereka mengambil dana sebesar 13,5 persen yang digunakan untuk operasional organisasi. Sehingga, ACT merasa sah-sah saja mengambil dana sebesar 13,5 persen dan bahkan lebih.
Tagar #AksiCepatTilap ramai di media sosial sebagai salah satu bentuk kekecewaan masyarakat kepada ACT ini. Bagaimana tidak, Ketua Dewan ACT memiliki gaji Sebesar Rp. 250 juta per bulan. Kemudian pada level Senior Vice President sebesar Rp. 150 juta per bulan, hingga pada level direktur yang memiliki rentang gaji paling rendah yakni Rp. 30 juta.
Rentang gaji yang diterima oleh petinggi ACT itu hampir setara dengan gaji direksi Perusahaan Plat Merah seperti misalnya misalnya direksi Bank BRI yang memiliki gaji dengan kisaran Rp. 271 juta per bulan. Padahal, ACT sama sekali bukan perusahaan atau organisasi plat merah, dan bahkan mereka sendiri menyebut sebagai organisasi nirlaba.
Kekecewaan masyarakat dengan adanya laporan keuangan yang bocor ini menambah panjang “perampokan” kepada umat. Beberapa waktu yang lalu, heboh pemberitaan mengenai Ustadz Yusuf Mansur yang digeruduk oleh sekelompok orang terkait keuntungan dari investasi properti yang digembor-gemborkannya pada 2012 yang lalu.
Dalam kasus Yusuf Mansur ini, dirinya menawarkan sebuah investasi properti berupa apartemen di kawasan Tangerang yang dekat dengan Bandara. Saat itu, kepada jamaahnya, Ustadz Yusuf Mansur memiliki program aset manajemen berbasis syariah dengan nilai investasi paling rendah adalah Rp. 2,5 juta.
Namun, program ini tidak jelas keberlanjutannya dan malah menanggung beban bunga sebesar Rp. 500 Juta kepada Bank BTN. Yusuf Mansur kemudian berinisiatif untuk mengembalikan dana investor dengan total investor sebanyak 2.500 orang lebih.
Sementara, beberapa orang ada yang belum diselesaikan karena meminta jumlah ganti rugi yang menurut Yusuf Mansur jumlahnya sangat fantastis dan tidak masuk akal mencapai 1,8 Miliar padahal investor tersebut berinvestasi Rp. 10 juta.
Peristiwa ACT dan juga investasi bodong berkedok syariah inilah yang sepatutnya diwaspadai oleh masyarakat. Dana umat, yang sedianya digunakan untuk membantu sesama, malah digunakan oleh keuntungan pribadi dengan jumlah yang tidak masuk akal. Hal inilah yang mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kemanusiaan yang mengumpulkan dana untuk donasi.
Padahal, jika dicermati lebih lanjut, masih ada beberapa lembaga milik pemerintah yang menyalurkan dana kemanusiaan seperti misal BAZNAS yang diaudit secara independen dan memiliki transparansi penggunaan dana yang jelas. (Latief)