Home Nasional Hukum Ketok Palu, MK Tolak Uji Formil Revisi UU KPK

Ketok Palu, MK Tolak Uji Formil Revisi UU KPK

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Pada Selasa (4/5) Mahkamah Konsitusi (MK) resmi menolak gugatan uji formil revisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Gugatan tersebut diajukan oleh eks pimpinan KPK era Agus Rahardjo yakni Saut Situmorang, Laode Muhammad Syarif bersama 11 pemohon lainnya.

“Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan seterusnya. Amar putusan mengadili; dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon dalam pokok permohonan, menolak permohonan pokok para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5).

Dalil pemohon yang menyebut UU KPK tidak melalui prolegnas dan terjadi penyelundupan hukum, dalam pertimbangan hakim, dinilai tidak beralasan menurut hukum. Lalu, dalil pemohon yang menyatakan draf revisi UU KPK yang fiktif juga tidak beralasan menurut hukum bahkan mengada-ada.

Majelis hakim juga menilai bahwa proses pembentukan Undang-Undang KPK disebut telah sesuai dengan prosedur dan menganggap jika geliat penolakan publik terhadap UU KPK dalam beberapa aksi demonstrasi hanya sebatas kebebasan menyatakan pendapat di muka umum. Majelis hakim bahkan membuktikan dengan mengambil contoh adanya aksi demonstrasi tandingan yang mendukung revisi Undang-Undang KPK.

Seorang hakim konstitusi Wahiduddin Adams terhadap putusan MK a quo, memiliki pendapat yang berbeda atau dissenting opinion. Wahiduddin mengatakan bahwa perubahan UU KPK baru telah secara nyata mengubah postur, struktur, arsitektur maupun fungsi lembaga pemberantas korupsi tersebut.

Ia melanjutkan, secara jelas perubahan tersebut dilakukan dalam jangka waktu yang sangat singkat dan dalam momentum yang spesifik yakni hasil pemilihan umum presiden atau Pilpres dan juga pemilihan umum legislatif atau Pileg

Wahiduddin juga menjelaskan bahwa dalam proses pembentukan undang-undang yang singkat itu berpengaruh secara signifikan terhadap minimnya partisipasi masyarakat, juga minimnya kajian terhadap dampak undang-undang tersebut terhadap institusi terkait yaitu KPK.

Selain itu, Wahiduddin menilai ada yang tidak sinkron antara rancangan undang-undang (RUU KPK) dengan naskah akademik. Ia menambahkan bahwa akumulasi dari berbagai kondisi tersebut diatas menyebabkan sangat rendah bahkan mengarah pada kenihilan jaminan konstitusionalitas pembentukan undang-undang a quo

Namun, tak hanya menolak keseluruhan uji formil KPK, Mahkamah Konstitusi mengabulkan juga sebagian permohonan uji materiil revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman membacakan amar putusan mengadili dalam pengujian formil menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, dan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dalam permohonan materiil.

Adapun putusan tersebut dibuat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri Aswanto, Enny Nurbaningsih, Manahan MP Sitompul, Anwar, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Suhartoyo, Daniel Yusmic P. Foekh dan Arief Hidayat.

Aswanto selaku hakim konstitusi menilai bahwa ketentuan mengharuskan KPK untuk meminta izin sebelum melakukan penyadapan kepada Dewan Pengawas dinilai tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan check and balances. Ia beralasan bahwa Dewan Pengawas bukanlah aparat penegak hukum sehingga tidak memiliki kewenangan pro Justitia sehingga mengharuskan KPK meminta izin terlebih dahulu sebelum melakukan penyadapan.

“Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan, tindakan penyadapan yang dilakukan pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewas,” jelasnya.

Kewajiban pimpinan KPK, dalam pandangan Mahkamah Konstitusi, mendapat izin Dewan Pengawas untuk menyadap tidak saja merupakan sekadar intervensi atau campur tangan. Akan tetapi, hal tersebut juga bentuk nyata dari tumpang tindihnya kewenangan dalam penegakan hukum.

Dengan kewenangan demikian, MK melanjutkan bahwa hal demikian bisa dipandang sebagai ancaman bagi independensi lembaga penegak hukum yang pada akhirnya dapat melemahkan eksistensi prinsip negara hukum.

Sebagai konsekuensi yuridis, maka Pasal 12B ayat (2), (3) dan (4) dinyatakan tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan dinyatakan pula inkonstitusional. Maka dari itu, Pasal 12B ayat 1 UU No. 19 Tahun 2019 dinyatakan inkonstitusional.

Aswanto menambahkan bahwa selain itu, frasa yang dipertanggungjawabkan dalam pasal 12C ayat (2) harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai menjadi diberitahukan kepada Dewan Pengawas.

Kemudian, dalil pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 karena posisi KPK akan masuk dalam rumpun eksekutif dan melemahkan independensinya disebut beralasan menurut hukum untuk sebagian, maka dari itu KPK mengesahkannya. (Uswatun)

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

New York Rasa Lokal Ada di Broadway Alam Sutera

TELENEWS.ID- Bicara rencana liburan untuk akhir pekan, sepertinya seru untuk dibahas. Bukan tanpa sebab, saat ini pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) telah...

Berniat Menghibur, Tapi 5 Hal Ini Tak Boleh Dilakukan pada Wanita yang Suaminya Meninggal Dunia

TELENEWS.ID - Betapa hancur hati Nadzira Shafa istri dari almarhum Ameer Azzikra, adik selebgram Alvin Faiz yang tak lain juga putra kedua...

Permohonan Gubernur Anies Baswedan untuk bertemu dengan Bapak Presiden Ir. Joko Widodo

TELENEWS.ID - Saya, Prof. Otto Cornelis Kaligis, Warga Binaan Lapas kelas satu Sukamiskin Bandung, dalam kedudukan saya sebagai praktisi dan ahli hukum,...

Inikah 5 Alasan Nekat Pria Berselingkuh Meski Sudah Punya Pasangan Sempurna?

TELENEWS.ID - Beberapa waktu lalu jagat media sosial dikejutkan dengan kabar YouTuber dan influencer Nessie Judge yang mengakhiri hubungan dengan kekasihnya, Bram...