TELENEWS.ID – Sepanjang keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tanah air, lembaga tersebut adalah tombak utama dalam pemberantasan korupsi yang sudah jadi masalah laten Indonesia. Sejak dibentuk pada 2002 silam, keberadaan lembaga anti rasuah itu sangat diagung-agungkan dalam pemberantasan korupsi.
Harumnya nama KPK dalam pemberantasan korupsi di tanah air tidak lepas dari keberhasilannya engungkap kasus-kasus besar yang melibatkan aktor dari pejabat tinggi negara dari level Ketua dan anggota DPR, Menteri, Kepala Daerah, Aparat Penegak Hukum hingga Hakim Mahkamah Konstitusi.
Meski mendapat dukungan penuh dari publik, prestasi pemberantasan korupsi yang ditorehkan KPK selalu mendapat perlawanan secara politik hingga fisik di antaranya Cicak vs Buaya, Hak Angket terhadap KPK pada Tahun 2017, kriminalisasi pimpinan KPK, penyerangan kepada pegawai KPK dan pada puncaknya adalah Revisi Undang-Undang KPK pada Tahun 2019.
Revisi Undang-Undang KPK benar-benar melemahkan KPK secara perlahan, dampaknya langsung dirasakan dengan turunnya angka IPK Indonesia Tahun 2020. Jika 2019 IPK Indonesia berada di skor 40 dan ranking 85, tahun 2020 IPK Indonesia turun di skor 37 dan ranking 102. Pasca UU KPK baru menjadi kekhawatiran tersendiri, KPK tidak lagi efektif memberantas korupsi bisa saja membuat kepercayaan publik menurun dan berujung pada pembubaran lembaga itu.
Pada 2021 ini, peneliti ICW, Kurnia Ramadhan menyebut bahwa KPK di bawah Firli Bahuri dinilai yang terburuk sepanjang keberadaan lembaga anti rasuah itu. Tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dilaksanakan beberapa waktu lalu dinilai menjadi salah satu bentuk pelemahan KPK.
“ICW beranggapan Pimpinan KPK di bawah komando Firli Bahuri merupakan yang terburuk sepanjang sejarah lembaga antirasuah,” katanya seperti dikutip dari laman detik.
Sebab menurut ICW, pimpinan KPK mestinya melindungi pegawainya. Namun ia menilai pimpinan KPK justru terlibat dalam polemik tes wawasan kebangsaan itu.
“Betapa tidak, Pimpinan yang seharusnya menjadi pelindung pegawai malah justru menjadi sutradara di balik pemberhentian paksa 51 pegawai KPK,” ujarnya.
ICW juga menyoroti pernyataan pimpinan KPK yang menyampaikan 51 pegawai tidak bisa dibina dan diberi rapor merah. Kurnia menilai pernyataan tersebut berbahaya karena seolah-olah mengibaratkan pegawai KPK lebih berbahaya dibanding teroris. (Taufik)