TELENEWS.ID – Presiden Joko Widodo pernah mengungkapkan bahwa di periode kedua masa kepemimpinannya tersebut, dirinya sudah tidak memiliki beban apapun lagi. Itu artinya pada masa periode kedua ini, dirinya bebas menentukan dan mengambil keputusan apapun tanpa takut ditinggalkan partai koalisinya.
Hal ini dikarenakan Jokowi tidak ada beban untuk mengikuti pemilihan selanjutnya.
Hal ini menyebabkan para pengamat politik melihat partai koalisi pemerintah di periode kedua ini cukup berantakan dan berubah-ubah. Banyak isu yang menyebabkan mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Salah satu isu yang menyebabkan partai koalisi terbelah adalah isu mengenai penundaan pemilu yang muncul dari Menteri Koordinasi Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Dalam hal ini Partai PKB, PAN, dan Golkar menyetujui usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Sedangkan Partai PDI-P, Nasdem, Gerindra, dan PPP menolak.
Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Jati, mengatakan perbedaan pandangan antarpartai politik adalah hal yang sangat wajar. Tidak hanya menjelang akhir masa kepemimpinan presiden, dalam proses kepemimpinan yang masih panjang pun tetap akan menimbulkan beberapa pro kontra. Namun kebanyakan dari pro-kontra yang disuarakan partai politik ini cenderung berbasis pada kepentingan dari masing-masing partai dan sedikit presentase yang mencerminkan kepentingan masyarakat.
Hal ini juga disebabkan karna sudah munculnya kepentingan baru dari partai politik untuk jangka panjang, yaitu persiapan menghadapi pemilu kembali. Perbaikan internal dan meningkatkan elektabilitas dan popularitas menjadi pekerjaan utama. Untuk itu tidak jarang partai politik menganalisis terlebih dahulu mana yang menguntungkan untuk isu dan keputusan pemerintah yang didukung atau tidak.
Tahun 2022 ini adalah tahun penting bagi semua partai politik dalam mempersiapkan diri menghadapi pemilu. Keterpilihan mereka oleh masyarakat akan sangat mempengaruhi nasib mereka ke depan dan eksistensi partai. Jika tidak lolos ke Senayan, bisa dipastikan partai tersebut bisa hilang dari peredaran atau tetap hidup namun tidak terlihat.
Tidak ada koalisi permanen dalam sistem presidensil, tidak jarang dan merupakan hal yang wajar jika suatu partai politik bermain dua kaki. Tidak jarang juga permainan dua kaki ini pada akhirnya memecahkan internal partai tersebut menjadi dualism kepemimpinan, jika sudah berlebihan dan tidak solid.
Sudah tidak ada bahasa dimana partai yang bermain bersama penguasa akan ikut berkuasa lagi di periode berikutnya. Karena dalam politik yang dinamis, kawan bisa menjadi lawan, atau sebaliknya.
Saat ini tidak tergantung bagaimana Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyikapi hal ini dengan bijak. Jangan sampai terpecahnya koalisi mengganggu kinerja pemerintah pusat terutama para menteri yang bersentuhan langsung dengan kepentingan partainya.
Tugas dari presiden dan wakil presiden wajib didahulukan karena menyangkut kepentingan masyarakat dibanding kepentingan partai. Hal itulah yang mendasari adanya reshuffle, walaupun faktor ini tidak selalu menjadi pilihan untuk melakukan reshuffle.
Namun kepentingan politik yang ingin dicapai pemerintah dalam reshuffle juga ada. Contohnya adalah mengangkat kader partai pendukung pemerintah yang masih mendukung program dan keputusan pemerintah untuk menggantikan menteri lain. Hal ini menjadikan koalisi cukup kuat dan mengurangi penolakan dari partai koalisi lain dimana suaranya semakin kecil. (Angela Limawan)