Home Nasional Nasib Para Pelaut Indonesia yang Terlupakan

Nasib Para Pelaut Indonesia yang Terlupakan

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Masyarakat Indonesia telah diberkati untuk hidup di negara kepulauan agraris plus kekayaan laut yang melimpah. Dengan kondisi geografis yang akrab dengan laut, tak ayal Indonesia memiliki banyak pahlawan yang berjuang di tengah ganasnya gelombang samudera. Para pelaut hebat ini pun menjadi bagian dari roda ekonomi dunia.

Sayang, kondisi para pelaut di Indonesia sendiri justru kurang mendapatkan perhatian khusus dan terhimpit oleh beberapa permasalahan. Dari mulai jumlah pelaut yang over supply (kelebihan jumlah pelaut), kompetisi pekerjaan yang semakin tinggi, pembajakan kapal, kurangnya perhatian pada hak-hak para pelaut, gaji pelaut yang dinilai belum menyentuh titik sejahtera, ditambah dengan kondisi pelaut di tengah pandemi virus korona.

Melansir dari Porto News, direktur The Maritime Institute Siswanto Rusdi memaparkan perjuangan para pelaut Indonesia yang berbanding terbalik dengan pemenuhan hak-hak mereka. Pada dasarnya, pemenuhan hak pelaut berangkat dari upah yang layak. Namun, menurut Riswanto, Perjanjian Kerja Laut (PKL) yang ada tidak menempatkan pelaut sebagai pekerja yang layak mendapatkan upah yang layak. Justru, pemenuhan hak para pelaut dibiarkan terombang-ambing tanpa kepastian.

Secara hukum, PKL dibentuk dengan merujuk pada peraturan peninggalan Belanda, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Buku II, Bab 4 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Selain kedua hukum ini, ada pula Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Kepelautan dan UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang sudah diganti dengan UU Nomor 17 Tahun 2008.

Masalahnya, PKL yang berlaku hingga kini masih menempatkan pelaut sebagai pekerja kontrak dengan upah di bawah angka minimum yang berlaku di wilayah tempat kesepakatan antara awak kapal dan pemilik kapal disetujui. Belum lagi, para pelaut tidak diikutsertakan dalam program jaminan sosial yang berlaku.

Menurut Siswanto, fakta di lapangan cukup membuktikan bahwa pelaut bukanlah pekerja musiman. Sehingga, kategorisasi pelaut sebagai pekerja kontrak terdengar tidak adil untuk mereka. Apalagi, para pelaut yang sudah berada di atas kapal sering kali tidak menerima PKL yang sudah disetujui oleh pemilik kapal.

Alhasil, mereka tidak mengetahui secara pasti hak dan kewajibannya yang sudah tertera di atas kertas. Di tambah, PKL yang berlaku juga tidak memberi kejelasan hubungan antara pelaut dengan pihak pelayaran yang memberi pekerjaan.

Untuk memperjelas seberapa terbengkalainya pemenuhan hak pelaut, UU Cipta Kerja yang sudah disahkan tidak merevisi kebijakan pengupahan untuk para pelaut. Bahkan, ketika ada perubahan peraturan pekerjaan pelaut dalam Maritime Labor Convention 2006 di seluruh dunia, Indonesia masih tetap memberlakukan PP No. 7 tahun 2000.

Perjuangan para pelaut memang tidak bisa dianggap remeh. Selain ditempa gelombang laut, ruang geraknya pun terbatas oleh dinding baja. Belum lagi mereka dihadapkan dengan kondisi alam dan kapal yang tidak menentu. Apapun yang terjadi, yang mereka bisa lakukan hanya bertahan di tengah laut. Dengan kondisi yang carut marut seperti ini pun, para pelaut wajib memiliki banyak sertifikasi sebagaimana diatur oleh International Maritime Organization (IMO), organisasi naungan PBB yang mengawasi kemaritiman dunia.

Kondisi pelaut setahun terakhir ini juga diperparah dengan pandemi virus korona. Para pelaut yang sudah terlanjur dalam pelayaran harus mampu bertahan di atas kapal untuk waktu yang lebih lama. Kapal yang sudah terlanjur bersandar di dermaga pun tidak diperbolehkan menurunkan awak kapalnya. Banyak dari mereka menjalani karantina di sekitar pelabuhan. Kondisi ini pastinya menyerang kesehatan psikis para pelaut.

“Tidak ada jaminan keselamatan para pelaut itu bisa aman dan terhindar dari virus Corona,” ujar Siswanto.

Dengan realita kondisi pekerjaan dan segudang sertifikasi yang harus dihadapkan, sangat wajar jika Siswanto melihat upah para pelaut merupakan hal yang perlu diperbaiki.

Terlepas dari segala rintangan dan pekerjaan berat yang harus dijalani pelaut, ternyata masih banyak pemuda Indonesia yang ingin menjadi pelaut. Merujuk pada data Kementerian Perhubungan per 7 Juni 2020, jumlah pelaut Indonesia saat ini tercatat ada 1.172.508 orang.

Ditambah, perwira pelaut yang dihasilkan berkisar 3.500 merupakan jebolan dari berbagai institusi pendidikan pelayaran. Ditambah, lulusan satuan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRDSM KKP) sekitar dua ribuan tiap tahunnya. Angka ini menandakan, Indonesia sedang mengalami oversupply pelaut.

Sayangnya, jumlah lulusan perwira pelaut tersebut tidak sebanding dengan jumlah kapal yang beroperasi di atas 150 gross tonnage (GT). GT adalah suatu ukuran yang menunjukkan besarnya volume kapal yang menampung hasil dari penangkapan ikan, menurut jurnal yang diterbitkan IPB.

Berdasarkan data Dirjen Perikanan Tangkap KKP, tercatat kapal yang berukuran 100-200 GT hanya tersedia sebanyak 847 unit, ditambah 11 kapal untuk ukuran kapal motor di atas 200 GT.

Jumlah pelaut yang tidak sedikit itu jelas tidak berimbang dengan jumlah kapal yang tersedia dan beroperasi di Indonesia. Lantas, banyak pelaut yang memilih bekerja di kapal milik asing yang besar-besar. Dengan ketidaksiapan dan kendala bahasa yang ada, tak jarang banyak kasus pelaut Indonesia yang melaporkan kejadian tidak mengenakan.

Kabar mengenai kondisi pelaut Indonesia yang bekerja di kapal asing sempat viral beberapa bulan lalu. Dilansir dari laman BBC, terdapat dugaan penahanan gaji dan kekerasan terhadap pelaut Indonesia yang bekerja di kapal ikan milik China, Long Xing 629. Dari data Migrant Care, diketahui ada 205 aduan kekerasan terhadap pelaut Indonesia di kapal asing, juga gaji yang ditahan, dalam kurun waktu delapan tahun belakangan.

Koordinator National Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, M. Abdi Suhufan, mengatakan konflik yang sering terjadi di kapal milik asing diakibatkan pelaut Indonesia yang tidak dibekali kemampuan bekerja di atas kapal asing.

“Ada ABK asal Indonesia yang aslinya tinggal di daerah pegunungan dan tidak mengerti cara melaut, nggak ngerti alat pancing, jaring. Kemampuan bahasa juga tidak dibekali,” jelas Abdi.

“Kadang-kadang mereka salah mengerti (perintah bahasa asing). Itu yang mungkin membuat suasana kerja menjadi tegang hingga akhirnya terjadi konflik di atas kapal,” tambahnya.

Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Basilio Dias Araujo, menyoroti perihal persiapan dan sertifikasi ABK Indonesia.

Menurut Basilio, Indonesia sebetulnya sudah menandatangani The International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel. Sertifikasi ini yang mengatur sertifikasi yang diperlukan oleh ABK.

Aturan yang dikeluarkan oleh Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO tersebut, ujar Basilio, penting karena Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak ‘menyuplai’ pelaut di kapal asing, setelah Rusia dan China. Namun, proses sertifikasi itu sering kali tak dilakukan.

Padahal, pelatihan untuk sertifikasi tersebut sangat penting karena di luar negeri, kapal ikan yang digunakan biasanya di atas 300 GT, sementara di Indonesia, kapal ikan di atas 150 GT saja dilarang.

Pelaut memang memikul beban yang tidak sepele. Hantaman psikis dan fisik sudah menjadi makanan mereka sehari-hari selama di laut. Meskipun begitu, tidak ada alasan untuk tidak peduli akan mereka, khususnya dari pihak pemerintah sendiri yang seharusnya memenuhi hak-hak dan perlindungan untuk mereka.

Segudang permasalahan yang dihadapi para pelaut bangsa sekiranya cukup mewakili perhatian pemerintah yang kurang maksimal. Pemerintah diharapkan lebih peka dan tangkas dalam mengayomi mereka yang berjuang di laut, karena mereka pun bekerja untuk kepentingan ekonomi negara juga.

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

Resmikan Groundbreaking Hilirisasi Batu Bara Jadi DME, Jokowi: Mau Sampai Kapan Impor Terus?

TELENEWS.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, groundbreaking proyek hilirisasi batu bara menjadi dimetil meter atau DME di Kabupaten Muara Enim, Sumatera...

Kronologi OTT Kasus Korupsi Bupati Penajem Paser Utara

TELENEWS.ID - Nur Afifah Balqis sedang ramai menjadi perbincangan publik nasional akhir-akhir ini karena menjadi salah satu tersangka OTT KPK dan terlibat...

Kisruh Arteri Dahlan Mengancam Elektabilitas PDIP

TELENEWS.ID – Anggota komisi III DPR RI dari fraksi PDIP, Arteri Dahlan membuat gaduh Indonesia. Arteria meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin mencopot...

Kemanakah Ridwan Kamil Berlabuh Untuk Pilpres 2024 ?

TELENEWS.ID - Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2024. Namun hingga saat ini masih belum ada partai...