TELENEWS.ID – Semakin meningkatnya jumlah pengguna internet di seantero Indonesia membuat pemerintah berencana membangun Pusat Data Nasional (PDN). Namun sejumlah pihak menilai pemerintah masih bisa melakukan program tersebut dengan sistem kolaborasi ketimbang membangun dari nol.
Sejatinya, data center terdiri dari dua bagian yakni server sebagai tempat menampung data dan fisik gedung sebagai tempat menyimpan server tersebut. Program tersebut akan menyatukan sekitar 2700 data center dan dibangun di empat titik berbeda, yakni Bekasi, Batam, Labuan Bajo dan Ibu Kota Negara baru. Adapun pendanaan untuk PDN itu rencananya akan dilakukan dengan menggunakan utang dari negara Prancis dan Korea Selatan.
Kendati mengapresiasi langkah pemerintah tersebut, pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, menilai pemerintah tidak perlu lagi membebani anggaran dengan membangun data center / PDN, namun melakukan kolaborasi dengan mengggandeng penyedia layanan data center yang sudah ada.
“Trend saat ini di era industri TIK adalah kolaborasi dan hybrid. Sehingga Pemerintah tidak perlu membangun gedung data center yang besar” cetus Ardi. “Pelaku usaha penyelenggara data center di Indonesia telah memiliki infrastruktur yang berstandar internasional” terangnya kemudian.
Lewat sistem kolaborasi, pemerintah diharapkan bisa memangkas anggaran yang saat ini sudah sangat besar, terutama guna menanggulangi pandemi COVID-19. Apalagi penyelenggara data center swasta di Indonesia telah mampu menyediakan data center dengan spesifikasi Tier 4, atau level tertinggi untuk standar internasional.
Dengan kondisi demikian, maka pemerintah sebetulnya bisa langsung menggandeng data center yang sudah ada untuk difungsikan sebagai Pusat Data Nasional tanpa harus memboroskan anggaran lebih jauh lagi. Pasalnya, untuk membangun gedung data center, diperlukan dana dalam jumlah amat besar dan juga jangka waktu yang cukup panjang.
“Dengan kolaborasi dan tanpa membangun fisik gedung tempat data center, Pemerintah akan menghemat anggaran tidak kurang dari 60% dari anggaran yang dialokasikan untuk membuat fisik data center” papar Ardi. “Selain itu risiko Pemerintah juga bisa ditekan. Pemerintah jangan hanya memikirkan infrastruktur fisik seperti gedung dan mesin server tanpa mempertimbangkan SDM yang mereka miliki,”.
Memiliki data center sendiri juga bisa menimbulkan sejumlah resiko yang harus dipertimbangkan dan diantisipasi, seperti kapasitas gedung dan pusat data sendiri yang akan idle (menganggur) dan juga SDM pemerintah yang dinilai masih belum mumpuni.
“Jika Pemerintah tidak memiliki SDM yang handal dalam mengelola data center, siapa yang akan merawat aset tersebut. Untuk membangun kapabilitas tersebut memerlukan waktu yang lama. Tugas utama Pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo tentunya bukan penyelenggaraan data center, melainkan pengelolaan industri telekomunikasi,” pungkas Ardi. (Billy Bagus)