Home Gaya hidup Kesehatan Penggunaan GeNose dan Ivermectin; Wujud Nyata Kebijakan yang Miskin Sains

Penggunaan GeNose dan Ivermectin; Wujud Nyata Kebijakan yang Miskin Sains

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan ‘nongol’ di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat pada Sabtu 23 Januari silam. Bersama Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, mereka hadir untuk meresmikan penggunaan GeNose sebagai syarat perjalanan.

Luhut mengisahkan dengan bangga bahwa GeNose sudah mengantongi izin penggunaan darurat dan di-endorse oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Selain biaya yang murah, alat buatan peneliti dari Universitas Gadjah Mada itu diklaim akurat hingga diatas 90%.

Merespons anjuran Luhut, Kemenhub bergerak cepat. Dua hari setelah konferensi pers di Stasiun Senen, Kemenhub mengeluarkan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2021 yang isinya memperbolehkan hasil tes GeNose sebagai syarat perjalanan kereta api.

Merujuk pada SE tersebut, Kemenhub kemudian menggelar uji coba GeNose di stasiun Yogyakarta dan Jakarta pada tanggal 5 Februari 2021. Setelah dua kota tersebut, kota-kota lain pun menyusul menggunakan GeNose. Hingga kini, fasilitas tersebut tersedia di 65 stasiun kereta.

Selain stasiun kereta, GeNose juga digunakan di bandara. Uji Coba perdana GeNose digelar di empat bandara pada tanggal 1 April 2021 silam. Sampai saat ini, tercatat ada 21 bandara yang melayani tes GeNose.

Dengan biaya murah Rp30 ribu, GeNose tentu langsung jadi primadona karena harganya yang murah dibanding tes swab antigen.

Namun, belakangan izin penggunaan GeNose menjadi persoalan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta penggunaan GeNose sebagai syarat perjalanan dihapus saja. GeNose disinyalir memunculkan status negatif atau positif palsu dan akurasinya rendah.

Sampai saat ini, izin edar GeNose masih berlaku dan pemerintah belum memutuskan untuk menghentikan penggunaan hasil tes GeNose sebagai syarat mobilitas warga.

Selain GeNose, pemerintah juga merilis serangkaian kebijakan kontroversial untuk penanganan pandemi, salah satunya adalah mendorong penggunaan ivermectin yang lazimnya digunakan sebagai obat cacing hewan ternak dan peliharaan untuk terapi perawatan covid-19.

Setelah dipromosikan oleh Moeldoko selaku Kepala Staf Presiden, Erick Thohir, Menteri BUMN meresmikan penggunaan obat buatan jepang itu. Dalam konferensi di pabrik PT Indofarma Tbk Jabar pada Senin (21/6) lalu, ia mengklaim jika ivermectin ampuh.

Dirinya merujuk dari studi yang ada, ivermectin dianggap bisa membantu daripada mencegah. Harganya juga murah.

Sejalan dengan kebijakan para menteri Jokowi, BPOM pun merestui edar ivermectin dengan syarat harus disertai resep dari dokter.

Pemerintah Penyebar Hoaks yang Brutal?

Tentunya kebijakan terbaru itu banjir kritik. Pandu Riono Epidemiolog UI menyatakan kebijakan penggunaan ivermectin bermodus sama seperti GeNose. Sama-sama mencari cuan di tengah pandemic.

“Ya, semua tuh ujung-ujungnya mau cari profit di tengah pandemi. Tetapi, pemerintah bilangnya untuk atasi pandemi. Kalau sudah unsurnya duit, mereka kan tinggal jual saja. Bilangnya murah, (padahal) mahal itu harganya,” ujar Pandu saat dihubungi, Jumat (2/7).

Keputusan penggunaan ivermectin sebagai obat terapi covid-19 dirasa aneh sebab tidak disarankan oleh badan kesehatan dunia/WHO. Hingga kini, WHO hanya merekomendasikan ivermectin sebagai tahap uji klinis saja. Pun selaras dengan Badan Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) serta European Medicines Agency (EMA) yang belum menyetujui penggunaan ivermectin sebagai obat terapi Covid-19.

Sementara untuk GeNose, Pandu mengomentari bahwa sampai saat ini tidak ada badan otoritas kesehatan dunia yang merekomendasikannya sebagai alat tes Covid-19. Dirinya menyebut bahwa peneliti GeNose mencederai etika riset kesehatan sebab tidak pernah terbuka mempublikasikan riset ilmiah dari GeNose.

“Semua prosedur yang semua harus dilakukan dilanggar. Pertama, penelitinya itu enggak punya etik, enggak punya tanggung jawab. Dia harusnya dibilang bahwa alatnya belum bisa dipakai untuk screening. Terus terang, mereka enggak punya integritas. Mereka harusnya jujur alatnya itu belum divalidasi,” kata lanjutnya.

Pandu juga mengkhawatirkan bahwa pandemic bakal terus memburuk jika pemerintah semakin mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sumir. Seluruh upaya penanggulangan pandemic ini menurutnya mesti berbasis regulasi dan ilmiah.

Sementara itu, peneliti kesehatan dari UI yakni Ahmad Fuady menilai jika pemerintah terus mengulang ‘lagu lama’ dalam menangani pandemi merujuk kasus GeNose dan Ivermectin. Ia juga menyinggung gembar-gembor kombinasi untuk obat Covid-19 yang digaungkan oleh TNI Angkatan Darat, Badan Intelijen Negara dan Universitas Airlangga pada Agustus 2020 lalu.

“Tanpa bukti ilmiah yang kredibel, pemerintah telah menjadi pemasok hoaks yang brutal bagi penduduknya sendiri. Hingga kini, obat itu tak pernah diproduksi massal, tidak pernah dipublikasikan hasilnya di jurnal ilmiah, dan tidak lagi beredar sebagai berita kesuksesan,” kata Fuady saat dihubungi, Jumat (2/7).

Terulangnya kebijakan yang tak ilmiah dan tak berbasis sains yang dikeluarkan pemerintah menurut Fuady kian menegaskan bahwa rezim Jokowi cenderung meremehkan pandemic. Polanya terlihat dari para pejabat yang mengeluarkan berbagai pernyataan publik sejak awal pandemi, dirinya menyinggung bahwa pertama kali muncul, pemerintah bilang jika Covid tidak ada dan bisa dihadapi dengan jamu, doa, dan lain-lain.

Dirinya menilai jika berbagai kebijakan keliru tersebut cenderung dikeluarkan sebagai upaya guna menjaga masyarakat agar tidak panic sehingga kegiatan ekonomi bisa tetap berjalan. kebijakan yang kerap dibingkai saintifik, berbagai kebijakan tersebut malah potensial membahayakan publik dan makin memperburuk pandemi.

Sebenarnya, Pemerintah Bisa Digugat

Sementara itu, menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan jika pemerintah sebenarnya bisa digugat ke meja hijau jika memang terindikasi mengeluarkan berbagai kebijakan yang melanggar asas-asas pengelolaan pemerintahan yang baik.

Menurut Feri, langkah hukum untuk mengoreksi kebijakan ini bisa diambil masyarakat dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Publik bisa menggugat kebijakan dan tindakan negara dalam penanganan pandemic berbasis regulasi tersebut.

Dirinya juga merinci lebih jauh soal tiga jenis pelanggaran pemerintah yang bisa digugat sesuai regulasi tersebut. Diantaranya adalah pertama, mengeluarkan kebijakan dan tindakan yang bukan wewenang. Kedua, mencampuradukkan kewenangan dan ketiga melakukan tindakan sewenang-wenang.

Diantara itu, ada juga penjabaran soal misalnya asas ketidakcermatan dan segala macam. hal itu bisa dijadikan landasan untuk kemudian masyarakat bisa mengoreksi soal kebijakan penanggulangan Covid-19.

Feri menerangkan bahwa sudah ada banyak contoh kasus masyarakat yang menggugat pemerintah ke PTUN. Baik ditujukan kepada menteri, kepala daerah, ASN, bahkan presiden. Salah satu kasus yang baru ini adalah gugatan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).

Sementara itu, Wiku Adisasmito, Ketua Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 mengklaim bahwa pihaknya seringkali dilibatkan serta dimintai pandangan saintifik dan ilmiah kala pemerintah merumuskan suatu kebijakan. Namun, saat ditanyai soal berbagai kebijakan yang dianggap tidak berlandaskan sains, Wiku menjawab secara diplomatis dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Wiku, secara prinsip ilmu kesehatan masyarakat, dalam membentuk kebijakan kesehatan yang efektif perlu adanya pertimbangan lain seperti sektor sosial kemasyarakatan yang bersinggungan. Pemerintah tidak bisa menutup mata bahwa antarsektor tersebut saling berhubungan. Oleh karenanya, hasil keputusan tersebut diambil.

Lebih jauh, Wiku memaparkan bahwa setiap yang dikeluarkan juga terus dievaluasi dengan mempertimbangkan aspek keilmuan dan berbasis sains. Dirinya mencontohkan soal penggunaan GeNose dan ivermectin yang masih diproses uji klinisnya dan dibawah pengawasan langsung dari Kementerian Kesehatan.

Mantan anggota panel ahli di Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung itu menyerukan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir sebab pada prinsipnya, pemerintah akan selalu mengedepankan keselamatan dan kesehatan masyarakat. (Uswatun)

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

Desa Wisata Ini Diprediksi Bakal Hits di Tahun 2022, Yuk Simak Apa Saja Daftarnya

TELENEWS.ID - Banyak solusi ketika Anda ingin mencari destinasi liburan bersama keluarga ataupun teman-teman dengan tema desa wisata. Saat ini trend mengunjungi...

Pemerintah Enggan Rekrut CPNS di Tahun 2022, Ternyata Ini Alasannya

TELENEWS.ID - Banyak informasi mengenai Pemerintah yang tidak akan melakukan perekrutan CPNS di tahun 2022. Kemudian dari aspek penambahan jumlah ASN juga...

Salah Satunya Bikin Awet Muda, 5 Alasan Kamu Harus Pakai Serum Vitamin C Mulai Dari Sekarang!

TELENEWS.ID - Serum menjadi salah satu skincare yang sekarang menjadi salah satu kebutuhan wanita masa kini. Rasanya perawatan wajah tak akan lengkap...

Berkaca Dari Supir Kecelakaan Maut Balikpapan, Ini 5 Tips Agar Tak Bangun Kesiangan

TELENEWS.ID - Berbagai fakta mengejutkan terungkap pasca kecelakaan maut yang terjadi di tanjakan Rapak, Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (21/1/2022) pagi. Salah satunya,...