TELENEWS.ID – Penggunaan jamu menjadi dilema tersendiri dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 003/2010 tentang saintifikasi jamu mengatur penelitian berbasis pelayanan bagi tenaga kesehatan maupun dokter. Namun, tidak mengatur pelayanan kesehatan dengan jamu oleh nakes/dokter.
Dalam diskusi virtual yang digelar Minggu (30/5), Inggrid Tania selaku Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) menjelaskan bahwa para dokter saintifikasi jamu ini awalnya ketika mengikuti pelatihan menyangka akan bisa meresepkan jamu yang sudah diuji klinik. Namun, nyatanya tidak bisa.
“Tidak bisa memberikan jamu yang sudah diuji klinik. Padahal, sebenarnya sudah ada bukti klinisnya, ternyata tidak bisa atau tidak diperbolehkan,” ujarnya. Minggu (30/5)
Kemudian, muncullah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 yang mengatur segi komplementer, empiris dan integrasi terkait pelayanan kesehatan tradisional. Ia menjelaskan, dari sisi empiris Peraturan Pemerintah tersebut telah membatasi penyehat tradisional baik pendidikan informal/noninformal yang hanya boleh dalam upaya promotif dan preventif atau pencegahan.
Padahal, selama ini diketahui penyehat tradisional atau orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional maupun herbal diklaim dapat melakukan upaya kuratif atau pengobatan. Inggrid mencontohkan dengan dukun patah tulang yang banyak membantu masyarakat tanpa pengobatan medis,
“Seperti kita lihat misalnya ada dukun patah tulang. Kita melihat mereka sebenarnya banyak memberikan manfaat untuk masyarakat, tetapi dengan PP ini, mereka dilarang melakukan upaya kuratif, ini yang sangat disayangkan, seharusnya dibina dan diawasi (Kementerian Kesehatan),” ucapnya.
Dari sisi komplementer atau penerapan kesehatan tradisional dengan memanfaatkan ilmu biologis dan biokultural yang terbukti secara empiris, profesi baru bernama tenaga kesehatan tradisional (Nakestrad) pun muncul.
Pendidikan minimal D3 perguruan tinggi dengan wewenang mencakup kuratif (pengobatan), preventif (pencegahan), promotif, hingga rehabilitatif. Bahkan terkait profesi baru tersebut kemudian dibangunkan sebuah fasilitas pelayanan kesehatan tradisional sendiri yang bermanfaat bagi masyarakat bernama Griya Sehat.
Kemudian dari sisi integrase dilakukan dengan mengkombinasikan pelayanan kesehatan konvensional dengan pelayanan kesehatan tradisional yang bersifat pelengkap atau pengganti. Namun dalam hal ini wewenang tenaga kesehatan atau dokter terkait akan diambil alih secara keseluruhan oleh Tenaga Kesehatan Tradisional (nakestrad).
Dalam PP tersebut mengatur nakes atau dokter di rumah sakit maupun puskesmas harus segera meninggalkan pelayanan kesehatan tradisional integrasi paling lambat tanggal 3 desember 2021. Jika tenaga kesehatan atau dokter masih memberikan pelayanan kesehatan dengan jamu, maka nakes/dokter tersebut harus melepaskan profesinya.
“Ini sebenarnya yang kami sayangkan, karena sudah banyak puskesmas dan rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan integrasi. Nanti 3 Desember 2021 diminta meninggalkan karena ada profesi baru yang namanya nakestrad,” pungkas Inggrid. (Uswatun)