Home Nasional PSBB Hingga PPKM Darurat, Akrobat Istilah Pemerintah Tangani Pandemi

PSBB Hingga PPKM Darurat, Akrobat Istilah Pemerintah Tangani Pandemi

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Pemerintah telah menerapkan PPKM Mikro Darurat pada 2 Juli sampai dengan 20 Juli 2021. Hal ini diambil sebab terjadi peningkatan kasus Covid-19 selama seminggu terakhir yang masif dan perlu segera dikendalikan. Terutama pada zona merah dan zona oranye agar lonjakan kasus tidak terus meningkat serta mengganggu upaya pemulihan ekonomi dan kestabilan aktivitas warga.

Sejak awal pandemi, masyarakat tentu sudah khatam dengan suguhan istilah-istilah yang diberikan oleh pemerintah dengan segala kebijakannya. Sebut saja PSBB, PPKM berjilid-jilid, karantina wilayah dan lain sebagainya. Cuma ganti nama saja.

Selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pemerintah gemar berakrobat dengan berbagai istilah baru dalam kebijakan penanganan Covid-19. Ini tercermin dari munculnya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Transisi yang pernah diterapkan di DKI Jakarta, kemudian pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Mikro dari jilid satu sampai jilid sepuluh, kemudian PPKM Mikro diperketat hingga PPKM darurat.

Jika merujuk kepada regulasi yang menyangkut kedaruratan kesehatan masyarakat, ketentuan penanganan wabah sebenarnya harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. di dalamnya terdapat beberapa opsi seperti karantina rumah sakit, isolasi, karantina pintu masuk macam bandara dan pelabuhan, PSBB hingga karantina wilayah.

Dari sekian pilihan tersebut, pemerintah baru menerbitkan regulasi turunan soal PSBB yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 dan diatur juga dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020.

Tidak berhenti di situ, pemerintah pusat pun justru lebih memilih opsi PSBB transisi, PPKM mikro, PPKM mikro yang diperketat dan PPKM darurat. Sayangnya, kebijakan tersebut juga diatur dalam peraturan gubernur (pergub) dan instruksi menteri dalam negeri (inmendagri) yang secara hierarki jauh berada di bawah UU.

Menanggapi hal tersebut, pakar semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yasraf Amir Piliang, menyatakan bahwa fenomena ini merupakan acrobat istilah yang dimainkan merupakan karakter dari rezim pencitraan. Karenanya, banyak kebijakan dari pemerintah saat ini yang bukan mengejar substansi pencapaian prestasi, tetapi pencitraan atas capaiannya.

“(Pemerintah) bermainnya dengan hal-hal permukaan dari mulai kampanye saja sudah bermain dengan hal-hal permukaan melalui pencitraan, jargon-jargon, gambar-gambar masuk ke got,” ucapnya saat dihubungi Kamis (2/7).

Yasraf Amir menyambung bahwa upaya mengejar pencitraan dengan pemberian nama atau istilah baru tersebut sebagai dalih agar rezim terlihat berinovasi, padahal tidak. Selain itu, ia mencontohkan dengan proyek pembangunan seperti jalan tol di mana pemerintah hanya mengejar seremoni ‘gunting pita’ padahal pelaksanaannya membutuhkan waktu yang panjang.

“Nah, Covid-19 ini juga sama. Di seluruh dunia, kan, sudah memiliki istilah yang standar internasional: lockdown, karantina wilayah, karantina mandiri. Tetapi, ini, kan, karena pencitraannya seolah-olah ada inovasi dalam penanganan Covid-19,” tuturnya.

Yasraf Amir menerangkan bahwa politik Bahasa dapat digunakan untuk mengklaim prestasi. Misalnya saja pelaksanaan PSBB yang diklaim ketat nyatanya banyak celah bepergian dalam negeri atau luar negeri. Artinya, PSBB hanya tinggal jargon semata. Ada nama, namun tidak ada faktanya.

Selain itu, akrobatik pemerintah dengan berbagai istilah baru yang muncul dalam sebuah kebijakan ini dapat mengaburkan kegagalan sebab inovasi tersebut seakan-akan telah menuntaskan persoalan.

“Apakah pernah Anies Baswedan itu menggunakan istilah-istilah yang khusus untuk PSBB Jakarta? Enggak. Dulu, ya, sebelum ada (varian) delta, kan, banyak tindakan berhasil. Artinya, Anies ingin mengejar prestasi, beda kalau rezim ini, kan, ngejar tampilan luarnya, kata-kata, istilah,” urainya.

Dirinya berpendapat jika langkah tersebut diambil sebab pemerintah sudah mafhum dan khatam bahwa rakyat Indonesia mudah digiring opininya mengingat daya kritisnya kurang. Dengan demikian, penguasa dapat membangun opini dengan pencitraan yang memanfaatkan media, gambar hingga jargon.

Pernyataan serupa juga disampaikan oleh ahli epidemiologi dan biostatistik dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono saat dihubungi secara terpisah menjelaskan bahwa PPKM Mikro baginya adalah politik pencitraan dalam penanganan wabah. Padahal, PSBB sudah sesuai UU Kekarantinaan Kesehatan, dengan mandat yang diberikan kepada kepala daerah yang lebih mengerti kondisi wilayahnya.

Mandat tersebut kemudian diambil pemerintah pusat melalui Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) yang dipimpin oleh Airlangga Hartanto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

“PSBB menimbulkan panglima dan komandan lapangan yang hebat, seperti Anies, Ridwan Kamil, Ganjar (Pranowo), kemudian itu dianggap ancaman bukan berarti tidak berhasil,” katanya.

Pandu juga berpandangan bahwa KPCPEN lebih mengutamakan soal pemulihan ekonomi nasional daripada masalah kesehatan. karenanya, strategi tersebut gagal lantaran tidak dapat memerintahkan pemerintah daerah dan bertindak semaunya sendiri.

Walaupun demikian, Pandu sedikit mengapresiasi langkah pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan PPKM Darurat yang dikomandoi oleh Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi sebab hal ini berdampak positif. Namun, Pandu menyayangkan bahwa pengambilan dan penetapan kebijakan ini dinilai terlambat sehingga berat dan terengah-engah dalam penanganan Covid-19 serta harus pelan-pelan dalam memperbaiki sistem.

“Itulah pemerintahan (Indonesia), kadang-kadang cuma ganti baju, tetapi badannya tidak pernah mandi (ganti istilah saja, red). Kalau yang dibuat Airlangga dan KPCPEN itu enggak jelas maunya apa, bagaimana monitoring-nya, iya, kan?” urainya.

Ia juga menjelaskan bahwa konseptor dari PPKM Mikro berbeda dengan PPKM Darurat, isinya berbeda. Presiden Jokowi sekarang menyadari bahwa selama ini Airlangga tidak berbuat apa-apa. Dirinya juga menegaskan bahwa dia mendukung PPKM Darurat dan membubarkan KPCPEN. Menurutnya, KPCPEN tidak ada kinerja lanjutan dan akhirnya presiden menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan untuk membetulkan kondisi pengendalian pandemi. (Uswatun)

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

Doyan Sindir Anies Baswedan, Wagub DKI Ke Giring: Tunjukkan Kinerja Dan Prestasi

TELENEWS.ID - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria angkat bicara soal aksi saling sindir antara Gubernur Anies Baswedan dengan Ketua Umum...

Tidak Ada Tempat Bagi Koruptor, Indonesia – Singapura Tanda Tangan Perjanjian Ekstradisi

TELENEWS.ID - Sejak tahun 1998, Indonesia dan Singapura telah melakukan berkali-kali untuk mengukuhkan perjanjian ekstradisi untuk kedua negara namun selalu gagal. Diketahui...

Tewas Bukan Karena Maling Mobil, Kakek Wiyanto Dianiaya Secara Brutal Gara-gara Serempet Motor di Jalan

TELENEWS.ID - Polisi mengungkap kronologi kematian Wiyanto Halim (89) yang tewas akibat dikeroyok massa di kawasan JIEF, Pulo Gadung, Cakung, Jakarta Timur...

Yuk Mampir ke Provinsi Berpenduduk Paling Bahagia di Indonesia, Dijamin Betah

TELENEWS.ID - Berbagai macam spot wisata di setiap daerah Indonesia mampu mengundang traveller lokal maupun mancanegara. Dalam beberapa waktu terdapat informasi bagaimana...