Home Nasional Refleksi Pandemi dari Perspektif Agama

Refleksi Pandemi dari Perspektif Agama

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Penyebaran virus Covid-19 secara masif yang pertama ditemukan di Wuhan, China pada Desember 2019 dalam waktu singkat menyebar ke negara-negara sekitarnya, seperti Korea Selatan, Iran, Italia, Spanyol, Amerika Serikat, Perancis, Inggris dan seluruh negara dunia lainnya, termasuk Indonesia. Virus Covid-19 yang menjadi pandemi ini pada akhirnya mempengaruhi beberapa aspek kehidupan, baik sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, finansial, bahkan pendidikan.

Pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bertujuan mencegah kerumunan orang banyak yang bisa menjadi penyebab meningkatnya penyebaran virus Corona.

Peraturan pemerintah tersebut ada yang bertabrakan dengan ajaran, kepercayaan dan keimanan suatu agama, serta aturan peribadatan umat beragama pada umumnya, seperti shalat berjamaah di masjid bagi umat Islam, misa atau kebaktian bagi umat Kristiani, pura bagi umat Hindu, serta beribadah di vihara bagi umat Budha. Selain itu, Ibadah umroh di Makkah dan ziarah di Madinah juga sempat ditutup oleh pemerintah Saudi Arabia.

Baca Juga : Kaleidoskop 2020: Pahit Manis Peristiwa di Tengah Pandemi

Politisi Partai Keadilan Sejahtera, M Nasir Djamil mengutip pendapat seorang kawannya di Aceh pernah menyebut, dalam masa pandemi ini, agama seolah-olah hilang dan tidak ada. Orang tidak lagi bisa ke masjid, tidak bisa lagi ke gereja, tidak bisa lagi ke kuil. Perayaan-perayaan agama sudah tidak ada lagi, lalu kemudian kita disuruh mencari Tuhan dalam keterisolasian kita.

Situasi panik dan khawatir saat itu seyogyanya memerlukan pelampiasan emosi yang baik dan respon positif dalam menghadapi situasi yang tidak menentu, menjaga agar mental tetap kuat dan stabil.

Pada akhirnya, Agama adalah salah satu medium yang dapat dijadikan sandaran bagi setiap individu yang mengalami kepanikan dan kekhawatiran yang berlebihan.

Profesor Departemen Penelitian Agama Universitas Oklahoma Amerika, Charles Kimball berpendapat bahwa agama pada satu sisi dapat menjadi perekat sesama manusia. Namun, pada saat yang bersamaan dapat menjadi bencana bagi umat manusia.

Di satu sisi, agama bisa menjadi pemersatu saat terjadi musibah ataupun bencana. Dalam keadaan seperti ini, hanya kepada Sang Pencipta tempat mengadu dan berkeluh kesah. “Di sisi lain, agama dapat menjadi bencana ketika ia dijadikan alat kekuasaan sekaligus manipulasi politik oleh sekelompok elit kepada golongannya,” tambahnya lagi.

Pertanyaannya adalah, bagaimana spirit agama tersebut dapat membangkitkan energi untuk membangkitkan rasa persatuan untuk bangkit dari bencana pandemi demi kemajuan bangsa dan negara. Dengan dikeluarkannya regulasi yang dapat mengayomi semua entitas masyarakat, saling mendukung antar kelompok dengan tidak meninggalkan diskriminasi dan intoleransi agama, ras, etnis, baik yang dilakukan oleh elit politik maupun masyarakatnya.

Dengan semakin bertambahnya data pasien Covid-19, ada yang masih dalam perawatan, maka akan sangat elok jika masyarakat juga mendukung seluruh program pemerintah selama masih dalam batas koridor yang tepat dan bertujuan untuk mensejahterakan rakyat.

Di sinilah peran agama sangat penting. Para kyai, pastor, pendeta, biksu, sesepuh, alim ulama memiliki andil cukup besar untuk mendidik dan memberikan teladan bagaimana menjadi warga negara yang taat kepada para ahli ilmu kesehatan, ahli keamanan publik, maupun pada otoritas yang memiliki wewenang menjaga keamanan, kenyamanan dan keselamatan warganya. Melindungi satu nyawa berarti menyelamatkan seluruh kehidupan manusia. Ini tidak terjadi begitu saja dan tidak pula secara tiba-tiba, jika model beragama dicontohkan oleh para pemimpinnya.

Hal ini dicontohkan ketika pandemi mulai melanda, dua organisasi islam yang berpengaruh di Indonesia, PP Muhammadiyah dan PB Nahdlatul Ulama menyerukan aktivitas pengajian dan shalat Jumat diganti dengan shalat dzuhur di rumah masing-masing. Begitu pula ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung himbauan tersebut.

Namun, dengan adanya musibah tentu umat muslim harus menyikapinya dengan baik. Seperti yang dikatakan Ust. Ahmad Sarwat, Lc. MA dalam khotbahnya yang bertema “Memetik Hikmah di Tengah Wabah”, bahwa kita harus berprasangka baik kepada Allah SWT, baik sedang menghadapi bala ataupun bencana.

Tetap optimis dan selalu berkata baik, sebagaimana telah diajarkan Nabi Muhammad SAW. Jika tidak mampu berbicara baik, maka hendaklah diam saja.

Hal yang perlu dilakukan setelah menata akidahnya, umat muslim sebisa mungkin menghindari wabah. Selain tidak boleh membahayakan diri sendiri, juga wajib menghindarkan diri melakukan hal-hal yang membahayakan orang lain, dengan cara mengikuti aturan yang berlaku, yaitu menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Selain, wajib mengupayakan pengobatan.

“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, maka akan sembuh lah penyakit itu dengan izin Allah ‘azza wajalla.” Demikian hadits Nabi Muhammad SAW seperti yang diriwayatkan oleh HR. Muslim.

Sementara itu, Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko mengajak umat Katolik untuk membuka lumbung-lumbung kemurahan hati guna membuka gudang-gudang kepedulian, membuka tabungan cinta kasih untuk digunakan bersama mereka yang mengalami kesulitan dan terkena dampak pandemi, ketika memimpin Misa Kamis Putih secara streaming dari Katedral Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci Randusari, Semarang.

Di masa pandemi ini, katanya, umat juga diajak mewujudkan sikap melayani, seperti kepada para tenaga medis yang sedang merawat pasien yang terpapar Corona, termasuk mereka yang kehilangan pekerjaan karena dampak pandemi.

Di lain kesempatan, Sekretaris Umum Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Pendeta Jacklevyn F. Manuputty menghimbau umat Kristen untuk menjaga solidaritas sesama di tengah pandemi Covid-19.

Lanjutnya lagi, solidaritas bisa ditunjukkan dengan berbagai cara. Misalkan dengan menyebarkan energi positif antar keluarga atau mengirimkan doa lewat media sosial. Serta mengirimkan lagu-lagu bersifat penguat kepada yang sakit di rumah sakit atau untuk tenaga medis.

Jacklevyn meyakinkan bahwa terpapar virus Covid-19 bukanlah merupakan aib atau kutukan Tuhan. Karena itulah, stigmatisasi yang mendorong ke tindakan diskriminatif terhadap mereka yang terpapar harus dilawan bersama-sama.

PGI juga menghimbau agar umat Kristen melakukan ibadah di rumah serta tetap menjaga jarak aman ketika berinteraksi dengan sesama. Selain itu, umat Kristen juga dihimbau untuk tidak merayakan hari besar secara berkerumun.

Tak ketinggalan, Ketua Bidang Kesehatan dan Sosial Kemanusiaan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Nyoman Suartanu juga mengimbau umat Hindu untuk tidak melakukan kegiatan persembahyangan secara bersama-sama.

Menurutnya, sementara waktu ibadah bersama-sama harus dihindari selama pademi Covid-19 masih ada.

“Kemudian melakukan ritual-ritual yang penting saja, diikuti dengan melakukan gerakan perilaku hidup bersih dan sehat melalui gerakan masyarakat hidup sehat yang selama ini kita dengungkan,” kata Nyoman dalam konferensi persnya di Graha BNPB

Ketua Pimpinan Pusat Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Prof Philip K Wijaya menyampaikan ajaran Buddha mengajarkan tentang kebersihan hati, kebersihan lingkungan dan kebersihan perilaku. Ajaran Buddha juga mengajarkan menjaga keseimbangan alam semesta dan mendoakan semoga semua makhluk berbahagia.

Ia mengatakan, Indonesia sedang dilanda pandemi virus Covid-19. Seluruh dunia seketika menjadi gaduh dan panik. Terlepas dari segala kekurangan dan kemampuan setiap negara, tentu setiap negara punya pola dan cara untuk keluar dari kesulitan akibat pandemi ini.

Hingga saat ini pandemi masih berlangsung. Dan kekhawatiran akan adanya gelombang baru dengan ditemukannya pula varian baru Covid-19 dikhawatirkan akan memicu banyak aspek kehidupan yang semakin tidak menentu.

Indonesia yang terkenal sebagai negara religius. Karena itu, untuk menyelaraskan pemahaman sains dan agama, tentu saja peran para tokoh agama sangat diharapkan. Supaya mereka bisa ikut berperan mempersatukan seluruh potensi yang ada di negeri ini untuk menghadapi pandemi global secara bersama-sama agar cobaan ini segera berlalu.

Kita harus yakin. Secara bersama, seluruh umat manusia di dunia akan segera terbebas dari virus Corona yang masih membelenggu hingga saat ini. Melalui peran masing-masing, setiap individu dapat berkontribusi mengatasi pandemi. Corona bukan kutukan!
(Dwi Eppy)

0
Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

Mengenal Oversharing, Kebiasaan Menggunakan Medsos yang Bisa Membuatmu Kehilangan Privasi

TELENEWS.ID - Di zaman seperti sekarang ini hampir segala sesuatu dibagikan oleh orang-orang di media sosial. Mulai dari aktivitas setelah bangun tidur...

Makanan yang Membantu Mengatasi Selulit Secara Alami

TELENEWS.ID - Sejatinya adalah hal yang normal dan lumrah jika wanita memiliki selulit pada kulit atau tubuh mereka. Namun tak bisa dipungkiri...

Kementerian PUPR Antisipasi Banjir di Mandalika

TELENEWS.ID - Kementerian PUPR tengah menyelesaikan pembangunan berbagai infrastruktur pendukung Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Nusa Tenggara Barat yang merupakan salah satu...

Tetap Cantik Saat Touring, Ini 6 Tips Menjaga Kulit dan Rambut untuk Para Lady Biker

TELENEWS.ID - Kesan garang dan tangguh dari seorang lady biker memang tak bisa untuk dipungkiri. Ini karena touring dengan motor umumnya dilakukan...
0