Home Nasional Rumitnya Pengelolaan Limbah Medis Infeksius

Rumitnya Pengelolaan Limbah Medis Infeksius

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Kurang lebih sekitar satu tahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak kasus pertama ditemukan. Selain menekan angka kasus infeksi virus anyar dari wuhan tersebut, penanganan limbah medis infeksius berupa masker, tisu, jarum suntik, sarung tangan, botol infus, APD, dan lain-lain di fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas menjadi pekerjaan rumah tersendiri.

Sejak Maret hingga Oktober tahun 2020, menurut data dari Direktorat Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), ada kenaikan yang signifikan jumlah limbah medis hingga 30-50% dari tahun lalu.

Sedangkan survei Indonesian Environmental Scientists Association (IESA) yang bekerja sama dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) melaporkan sebelum pandemi jumlah rerata limbah medis per harinya adalah 18,6 ton. Sedangkan di masa pandemi, rata-rata total 26,4 ton per hari. Meningkat sejumlah 46%

Asian Development Bank (ADB) menyebut, negara lain juga menghadapi tantangan bertambah dan menumpuknya limbah medis, selama pandemi masih berlangsung. Tak terkecuali kota-kota besar di negara Asia Tenggara.

ADB memperkirakan, pertambahan limbah medis di Manila, Filipina, paling besar di antara kota-kota besar lainnya di Asia Tenggara. Menurut ADB, perkiraan pertambahan limbah medis di Manila mencapai 280 ton per hari. Sementara peringkat kedua ada di Jakarta, dengan pertambahan limbah medis sebanyak 212 ton per hari.

Timpang Pengelolaan Limbah Antar Tempat

Ada berbagai cara yang dilakukan oleh pengelola rumah sakit untuk mengatasi timbunan limbah medis. Di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta Utara, mekanisme pengolahan limbah medisnya dilakukan dalam beberapa tahap.

Mohammad Syahril, Direktur dari RSPI menyebut bahwa tahapan tersebut mencakup pemilihan limbah, pewadahan, pengangkutan, penyimpanan sementara, pencatatan serta pengolahan. Pengolahan limbah medis itu dilakukan seperti halnya manajemen penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Namun, untuk limbah medis pasien Covid-19 ia menyebut bahwa ada serangkaian metode tambahan.

“Dilengkapi dengan desinfeksi pada kemasan limbah medis Covid-19, supaya virus Covid-19 dapat rusak atau hancur,” ucap Syahril saat dihubungi, Sabtu (26/6).

Sedangkan penyemprotan desinfektan itu dilakukan kala limbah medis infeksius disimpan di tempat penampungan sementara khusus limbah B3. Setelahnya, limbah medis dicatat lalu disalurkan ke perusahaan pengolah limbah rekanan RSPI.

Menurutnya, cara ini sudah memenuhi standar pengolahan dari Kemenkes. Termasuk soal kewaspadaan dari penularan penyakit. Ia juga memastikan bahwa cara ini aman.

Hal berbeda terjadi di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet, Jakarta Pusat. Pemusnahan limbah medis disini dilakukan dengan menggunakan fasilitas insinerator yakni tungku perapian bertemperatur di atas 800 derajat celcius. Menurut Kolonel Stefanus Dony, Koordinator Operasional RSDC Wisma Atlet mengatakan bahwa pihaknya memanfaatkan mobil insinerator hibah dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Dirinya juga menyebut bahwa ada 4-8 mobil insinerator yang disiapkan setiap hari di kawasan RSD Wisma Atlet.

Insinerator tersebut diutamakan untuk limbah medis berukuran kecil misalnya masker, tisu, jarum suntik, sisa makanan pasien, dan peralatan yang ada di ruang isolasi dan perawatan. Selain itu, limbah medis infeksius juga dikelola melalui kerja sama dengan pihak ketiga.

Dalam sehari, kata Dony, RSDC Wisma Atlet menghasilkan sekitar 100 kantong limbah medis dan hanya 20-30 kantong yang diolah dengan metode insinerasi. Sisanya diserahkan kepada pihak ketiga dan disalurkan ke perusahaan pengolah limbah. Sedangkan tumpukan kantong limbah medis disimpan di ruang khusus di tower tujuh yang lokasinya cukup jauh dari ruang isolasi pasien.

Namun, penanganan limbah medis infeksius di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat bawah seperti puskesmas tidak sebaik di rumah sakit rujukan Covid-19. Dari survei Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) setidaknya ada 18 puskesmas di wilayah Jakarta yang menerapkan cara mencuci dan menggunakan ulang alat pelindung diri (APD). Kondisi tersebut disebabkan oleh keterbatasan APD di puskesmas.

Direktur Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda membenarkan hal tersebut dengan menyebut bahwa keterbatasan APD terjadi di Puskesmas Cempaka Putih, Cililitan dan Tanjung Priok.

Sementara itu, Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes,Vensya Sitohang menjabarkan, ada empat prinsip pengelolaan limbah medis yang sudah ditetapkan Kemenkes. Pertama adalah prinsip tanggung jawab yang dibebankan bagi penghasil limbah secara hukum dan finansial.

Prinsip kedua adalah prinsip kewaspadaan, yang mengutamakan perlindungan kesehatan dan keselamatan. Yang ketiga, prinsip kehati-hatian, agar terhindar dari risiko fisika, kimia, dan biologi. Terakhir, prinsip jarak antara pihak penghasil dan pengolah limbah. Ia menambahkan, jarak pengelolaan limbah pun harus terletak dalam jarak yang cukup aman. Tidak boleh mengabaikan manusia dan lingkungan.

Adakah Cara Paling Aman?

Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan aturan juga terkait limbah medis infeksius dari rumah tangga dan fasilitas pelayanan kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/537/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Limbah Medis Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Limbah dari Kegiatan Isolasi atau Karantina Mandiri di Masyarakat dalam Penanganan Covid-19.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pedoman tentang limbah medis infeksius. Dalam Pasal 59 Ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah yang dihasilkan. Sedangkan disebutkan dalam Pasal 59 Ayat 3 bahwa dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, maka pengelolaannya harus diserahkan ke pihak lain.

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menerbitkan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SE.02/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Covid-19.

Isi beleid tersebut adalah pemerintah daerah bisa menyediakan sarana seperti dropbox untuk pengelolaan limbah medis dari rumah tangga. Sementara untuk limbah dari fasilitas pelayanan kesehatan, disarankan dimusnahkan dengan incinerator atau kiln semen.

Menanggapi hal itu, Syahrizal Syarif selaku Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) sekaligus pengurus bidang politik dan kesehatan dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyatakan sepakat dengan segala aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah terkait pengelolaan limbah medis infeksius. Menurutnya, umumnya limbah dari penanganan Covid-19 itu paling aman dibakar memakai insinerator.

Metode itu dianggap paling ampuh menjamin semua virus yang melekat di segala peralatan kesehatan bekas bisa mati. Selain itu, ia menilai, cara tersebut tak berisiko mencemari lingkungan.

Lain halnya dengan Dwi Sawung, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) ini tidak setuju dengan metode insinerasi. Dirinya menilai bahwa cara tersebut malah makin berdampak negatif terhadap lingkungan sebab uap hasil pembakaran bisa menjadi racun yang tersebar di udara. Terutama bila rumah sakitnya berada di dekat pemukiman warga, setidaknya lokasinya harus jauh.

Daripada metode insinerasi, Sawung lebih menyarankan mengatasi limbah medis infeksius menggunakan metode autoklaf. Menurut Sawung metode ini sudah bisa menghilangkan sifat infeksius dari limbah medis. Cara autoklaf tersebut sudah umum dilaksanakan di rumah sakit untuk kebutuhan pengecekan laboratorium, pun pembiayaan dengan autoklaf sudah menjadi standar operasional biasa di rumah sakit.

Adapun jenis limbah medis yang bisa ditangani dengan metode autoklaf diantaranya adalah botol infus, masker, dan perlengkapan APD petugas medis. Cara penguapan ini juga dinilai lebih efisien dilakukan rumah sakit dibanding harus menyalurkannya dulu kepada pihak ketiga yang tentunya membuat beban biaya semakin terhambur.

“Lebih mahal ongkosnya bagi rumah sakit. Padahal dana rumah sakit juga terbatas,” katanya saat dihubungi, Sabtu (26/6)

Meskipun begitu, Sawung mengakui kelemahan dari autoklaf yakni masih cukup sulit diterapkan sebagian rumah sakit karena adanya kendala teknis. Sawung juga mengusulkan agar limbah medis disinari dengan ultraviolet yang tinggi atau disemprot desinfektan sebelum kemudian disalurkan ke tempat pembuangan akhir (TPA). Yang terakhir, ia menyarankan agar pemerintah lebih cepat mengucurkan bantuan tambahan untuk pengelolaan limbah medis.

“Rumah sakit sudah sibuk ngurusin pasien Covid-19 daripada ke limbahnya,” pungkasnya. (Uswatun)

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

Berkaca Pada Celine Evangelista, Begini Cara Menciptakan Hubungan yang Sehat dengan Ibu

TELENEWS.ID - Hubungan Celine Evangelita dengan ibundanya, Vicentia Nurul kembali memanas. Belum lama ini Vicentia membongkar aib Celine, terkait kandasnya rumah tangga...

Jakarta International Stadium: Mega Proyek yang Dilalui 5 Orang Gubernur DKI

TELENEWS.ID - Jakarta International Stadium atau JIS adalah salah satu mega proyek Indonesia yang menyimpan banyak makna. Tidak hanya sarat dengan capital...

Jangan Panik, Ini Tips untuk Mengatasi Anak-anak yang Tidak Suka Makan Sayur dan Buah

TELENEWS.ID - Anak-anak memang tidak begitu menyukai buah dan sayuran. Padahal kedua jenis makanan itu merupakan sumber serat yang baik bagi kesehatan...

Rachmat Gobel Diisukan Jadi Menteri Pertanian?

TELENEWS.ID - Nama Rachmat Gobel belakang santer diisukan akan menjadi jajaran kabinet Presiden Jokowi. Rumor tersebut adalah pertimbangan dari beberapa pengamat politik...