TELENEWS.ID – Rasa pedas dinilai dapat membangkitkan selera makan. Tak jarang khususnya bagi setiap orang Indonesia, hidangan di meja makan akan tersedia sambal sebagai pelengkap menu makanan.
Citarasa pedas telah membudaya dalam dapur menu makanan orang Indonesia sejak abad ke-16. Demikian menurut Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada Prof. Murdijati Gardjito.
Berdasarkan literatur, kata Murdijati, sumber bahan makanan yang memberikan cita rasa pedas pada masa abad ke-16 saat itu berasal dari tiga macam komoditas diantaranya, merica atau lada, jahe, dan cabai Jawa.
Cabya atau Piper retrofractum vahi adalah tanaman genus lada dan sirih-sirihan yang bersifat sebagai rempah pemberi citarasa pedas untuk mengolah makanan.
Pada masa lalu lidah orang-orang Jawa menyebut cabya sebagai cabai atau Lombok.
Dibandingkan dengan dua komoditas lain yaitu merica dan jahe, cabya atau cabai memiliki efek dan rasa pedas yang lebih ramah di lidah maupun tenggorokan. Karena pedasnya cabe tidak semenyakitkan jahe dan merica. Bekas rasa pedas dari merica dan jahe lama hilangnya dan terlalu menggigit sehingga enggan makan lagi.
Dia juga menjelaskan, ketika dimakan, jahe menimbulkan rasa panas menggigit di lidah. Akibatnya, masyarakat kalau itu menilai efek pedas jahe membuat rasa sakit. Adapun kandungan rempah dalam merica membuat orang yang memakannya turut merasakan pedih. Jahe lebih akrab jika diolah dalam bentuk minuman karena efeknya menghangatkan.
Sedangkan rasa pedas merica dapat membuat lambung sakit, terutama bagi orang-orang yang tidak tahan. Untuk itu merica digunakan dalam olahan masakan sebagai rempah pelengkap rasa saja.
Karena itulah, pemanfaatan cabai sebagai bahan masakan untuk memberi citarasa pedas meluas, terutama dalam masyarakat Jawa kuno. Tanaman cabya Jawa tumbuh dan hidup di lahan tropis milik masyarakat dan cukup subur. Perawatan serta pengelolaan tanaman itu pun cukup mudah.
Di sisi lain, pada abad ke-16 tanaman cabai juga dibawa masuk ke Asia Tenggara oleh para pelaut Portugis dan Spanyol bersama dengan sekitar 2.000-an jenis tumbuhan lain yang diperdagangkan. Lambat laun cabai dikembangkan menjadi bahan utama pembuat sambal dan penambah citarasa pedas.
Pergeseran Makna Sambal
Mudijati juga menuturkan kata ‘sambal’ sebenarnya berasal dari Bahasa Melayu yang artinya ramuan yang memiliki citarasa pedas yang dibuat dengan kombinasi beberapa bahan diantaranya bawang serta rempah-rempah untuk membumbui hidangan. Namun, mengutip informasi dari sejarawan kuliner Fadly Rahman, dalam praktiknya sambal lebih ditekankan pada fungsinya, bukan arti.
“Di Indonesia, sambal diartikan berbeda. Sambal itu sebagai teman makan nasi atau lalapan,” tulis Murdijati.
Seiring dengan keberagaman jenis cabe, penggunaaan cabai pun meluas sebagai bahan utama membuat sambal yang bervariasi. Di masyarakat umum kini telah ditemui beberapa dari varian cabai seperti cabai rawit, cabai keriting, cabai domba dan cabai flores. Sementara itu, jahe dan lada beralih fungsi yang tak lagi sebagai bagian dari pemberi rasa pedas.
Sebaliknya, menurut Murdijatin jahe sering digunakan sebagai ramuan pemberi rasa, sebagian diantaranya jahe dimanfaatkan menjadi olahan menu yang bersifat hidangan pembuka atau appetizer seperti Acar Jahe Muda.
Menu makanan Acar Jahe Muda digunakan sebagai pemberi rasa dalam sejumlah sajian. Selain itu, jahe digunakan sebagai ramuan minuman jamu dan olahan dalam Ronde juga. Adapun lada kini berkembang dengan perubahan fungsi sebagai bumbu masakan, bukan lagi bahan pemberi rasa pedas seperti dalam sambal. (Uswatun)