TELENEWS.ID – Indonesia rupanya masih harus belajar dari sang negara tetangga, Malaysia, terutama menyangkut keamanan data siber. Dalam sebuah statistik yang dirilis Organisasi Telekomunikasi Sedunia (ITU), Indonesia masih kalah dibanding Negeri Jiran.
Global Cybersecurity Index (GCI) secara rutin dirilis setiap tahunnya untuk mengukur komitmen, kepedulian serta upaya suatu negara terhadap keamanan siber. Terdapat lima parameter penilaian, yaitu aspek legal, technical, organizational, capacity building, dan cooperation.
Dalam penyusunan indeks statistik tersebut, ITU mengajukan sebanyak 82 pertanyaan yang dikembangkan oleh panel ahli pada para anggotanya. Penilaian pun akan diurutkan dan semakin tinggi peringkat, artinya negara itu memiliki komitmen dan pertahanan keamanan siber yang sangat baik.
Dalam GCI tahun 2020, Amerika Serikat menjadi negara yang menempati posisi pertama, disusul Arab Saudi dan Inggris di peringkat kedua. Sementara untuk wilayah Asia Tenggara, Singapura menempati ranking pertama dan keempat secara global, dan Malaysia menempati rangking kedua di Asia Tenggara dan kelima secara global.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut GCI, negara kita tercinta hanya menempati ranking ke 24 secara global. Namun jika dibandingkan dengan peringkat tahun 2018 yang terpuruk di angka 41, Indonesia telah naik 17 peringkat. Saat ini, Indonesia berada di urutan ketiga Asia Tenggara di atas Thailand, Vietnam dan Filipina.
Kendati demikian, Indonesia terbukti masih harus belajar banyak dari Malaysia dalam memperkuat keamanan siber. Lemahnya keamanan berdampak pada meningkatnya serangan siber bagi pengguna internet seluruh nusantara. Umumnya serangan dilancarkan dalam bentuk fraud dan malware.
Namun Indonesia pun telah mulai berbenah dari segi keamanan siber. Bulan lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah (PDDI) resmi membentuk tim pelaksana keamanan Siber Indonesia, Computer Security Incident Response Team (CSIRT).
Plt. Kepala PDDI LIPI, Hendro Subagyo mengatakan LIPI-CSIRT dibentuk untuk melakukan pencegahan insiden, dengan cara terlibat aktif dalam penilaian dan deteksi ancaman, perencanaan mitigasi, dan tinjauan atas arsitektur keamanan informasi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
“CSIRT memiliki otoritas untuk menangani berbagai insiden keamanan siber yang terjadi atau mengancam sistem informasi BSSN berupa web defacement, DDOS, malware, dan phishing. Dukungan yang diberikan oleh BSSN dapat bervariasi tergantung dari jenis, dampak insiden dan layanan yang digunakan,” papar Hendro dalam keterangan tertulis yang dirilis tanggal 27 Juni silam. (Billy Bagus)