Home Ekonomi Utang Pemerintah Terus Naik, Tak Sanggup Bayar, Jadi Bahaya Laten?

Utang Pemerintah Terus Naik, Tak Sanggup Bayar, Jadi Bahaya Laten?

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Badan Pemeriksa Keuangan mengaku khawatir jika pemerintah tidak bisa membayar utang beserta bunganya, hal ini disebabkan bahwa utang pemerintah terutama pada masa pandemi, meningkat secara tajam. Berdasarkan audit laporan pemerintah pusat selama tahun 2020, BPK menyebutkan ada beberapa hal yang mestinya diwaspadai oleh pemerintah salah satunya penambahan utang pemerintah.

Agung Firman Sampurna selaku Ketua BPK menyatakan bahwa tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunganya telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.

“Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” kata Firman saat membacakan laporan audit BPK dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (22/6).

Dia menyambung bahwa pandemic Covid-19 telah meningkatkan defisit utang dan meningkatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran atau SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal. Meskipun rasio deficit serta utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang telah ditetapkan dan diatur dalam Perpres 72 dan Undang-Undang Keuangan Negara, namun sebaliknya, tren yang ditunjukkan adalah peningkatan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah. Di sisi lain, mulai tahun 2023, besaran rasio defisit terhadap PDB dibatasi paling tinggi yakni 3 persen saja.

Dalam laporannya, Firman menyebut, realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun lalu sebesar Rp1.647,78t triliun atau mencapai 96,93% dari anggaran. Sementara itu, realisasi belanja negara tahun lalu sebesar Rp2.595,48 triliun atau mencapai 94,75% dari anggaran.

Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp 947,70 triliun atau 6,14% dari PDB. Meski demikian, realisasi pembiayaan tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisitnya. Sehingga terdapat SILPA sebesar Rp245,59 triliun.

Firman juga menjelaskan terkait realisasi pembiayaan tersebut diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pembiayaan luar negeri sebesar Rp1.225,9 triliun, dan pinjaman dalam negeri. Ini berarti pengadaan utang pada tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.

Utang tahun 2020 diungkapkan oleh BPK telah melampaui batas yang telah direkomendasikan oleh IMF serta International Debt Relief (IDR), yakni rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi dari IMF yang hanya sebesar 25-35 persen.

Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6%-6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7%-19%. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369%, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92%-167% dan rekomendasi IMF sebesar 90%-150%.

Sebagai informasi, sejak akhir Desember tahun 2020, utang pemerintah sudah menyentuh angka Rp6.074,56 triliun. Posisi utang ini diketahui naik cukup tajam dibandingkan dengan akhir tahun 2019 lalu. Dalam satu tahun, utang Indonesia telah bertambah sebanyak Rp1.296,56 triliun dari Desember 2019 yang telah tercatat Rp4.778 triliun.

Tentu saja keputusan menambah utang tersebut ibarat memakan buah simalakama. Di masa pandemic saat ini, utang diklaim oleh pemerintah bisa menyokong perekonomian nasional yang sedang babak belur dihantam pandemic. Namun, di sisi lain utang tanpa pengelolaan yang baik justru bisa memicu bahaya laten.

Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini menilai jika keputusan tersebut sebagai suatu hal yang sembrono. Sebab, peningkatan batas defisit bisa menyebabkan dampak ekonomi berkelanjutan di masa depan. Bahkan, saat sudah berganti pemerintahan.

“Warisan utang Jokowi ini akan menjadi beban presiden yang akan datang,” ujar Didik ketika dihubungi, Rabu (23/6).

Didik mengkritik langkah pemerintah yang menerapkan perilaku memaksimalkan budget atau budget maximizer. Nantinya, mau tak mau upaya pemeriksaan dan penyeimbangan atau check and balance yang ketat juga perlu dilakukan.

Ia menambahkan bahwa terlebih lagi situasi politik dan ekonomi negara saat ini sedang kalut. Akibatnya, pengelolaan utang yang sembrono jelas akan memperburuk kondisi. Tidak hanya tidak efektif terhadap pembiayaan kebutuhan, namun juga bisa memperpanjang celah kecurangan seperti korupsi yang massif. Jelas ini patut diwaspadai.

“Karena sudah otoriter, oposisi diberangus, partai dikooptasi. Maka, keputusan politik ekonomi, anggaran dan utang sudah semau gue. Apakah sudah efektif? lihat sendiri kasus korupsi masih banyak,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan bahwa sepanjang sejarah sejak zaman kepemimpinan Orde Baru era Soeharto sampai zaman pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), utang pemerintah bertambah menyentuh kisaran Rp2.700 an triliun. Kemudian, hanya dalam waktu 5 tahun berselang setelahnya, utang pemerintah sudah naik lebih dari dua kali lipat. Itu pun belum termasuk utang BUMN, utang swasta yang juga akan berpengaruh terhadap kekuatan ekonomi nasional.

Menyoal utang pemerintah ini, Bhima Yudhistira salah satu peneliti dari INDEF juga berpendapat bahwa problem mendasar utang salah satunya bukan persoalan rasio utang terhadap PDB bangsa, melainkan kemampuan membayar utang yang semakin menurun.

Berdasarkan amatannya, sebanyak 19 persen penerimaan pajak sudah habis untuk pembayaran bunga utang. Sementara, Debt to Service Ratio (DSR) sebagai indikator kemampuan bayar utang luar negeri (ULN) terus meningkat diatas 25 persen. Artinya, antara pemasukan valuta asing dan penarikan utang luar negeri makin tidak imbang.

Implikasinya nanti menurut Bhima, bisa menggerus nilai tukar rupiah serta cadangan devisa dalam jangka panjang sebab tiap membayar bunga utang dan pokoknya selalu mencari dolar baru.

Peneliti INDEF ini juga berkomentar bahwa penggunaan utang yang dilakukan pemerintah, tidak semua untuk belanja produktif. Bahkan, urutan teratas belanja negara adalah belanja pegawai, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang. Tentunya ini sudah tidak sehat dan mirisnya dilakukan secara berkelanjutan. Jadi, tidak benar utang naik semata karena pandemic, tapi karena pengelolaan belanja yang kurang produktif.

Meminjam istilah dari Ekonom Senior INDEF, Didik, perkara utang seolah seperti nasi sudah menjadi bubur. Sudah terlanjur dilakukan. Maka dari itu, dia menekankan agar pemerintah bisa sigap melakukan berbagai upaya. Termasuk, menggenjot ekspor. BPS mencatat nilai ekspor Indonesia per Januari 2021 mencapai US$15,30 miliar atau turun 7,48% dibanding ekspor Desember 2020.

Menurut Didik, Indonesia juga perlu memperbanyak devisa negara. Berdasarkan laporan dari Bank Indonesia (BI), cadangan devisa indonesia pada bulan Februari 2021 mencapai US$138,8 miliar. Jumlah tersebut naik tipis US$800 juta, dari posisi bulan sebelumnya sebesar US$138 miliar.

Didik juga menambahkan pemerintah juga bisa meningkatkan rasio pajak agar cicilan pokok utang ringan hingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga memiliki kemampuan membayar utang negara.

Tak kalah pentingnya lagi, pemerintah juga menurutnya harus serius dalam penanganan pandemic Covid-19. Didik menekankan, tidak akan ada geliat ekonomi maju jika Covid-19 masih tidak bisa terkendali. Semua bakal sia-sia jika gagal mengatasi Covid-19. Ia menyayangkan penanganan pandemic masih kalah dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Australia dan Taiwan.

Sementara, peneliti muda INDEF Bhima juga turut menambahkan bahwa semestinya pemerintah sudah mengendalikan utang dari sisi efektivitas belanja terlebih dahulu. Utamanya, fokus pada aspek belanja kesehatan, perlindungan sosial dan dukungan UMKM.

Di sisi lain, efisiensi belanja pegawai juga perlu diterapkan karena sudah jaman teknologi, jadi menurutnya sudah tidak perlu merekrut banyak ASN.

Langkah selanjutnya, dia juga menggarisbawahi soal perlunya upaya pemerintah dalam melakukan negosiasi utang. Sebagaimana banyak negara lain yang juga meminta keringanan pembayaran bunga dan cicilan pokok utang agar semakin memiliki ruang fiskal untuk bergerak. (Uswatun)

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

Startup Indonesia Lakukan PHK Besar, Ada Apa?

TELENEWS.ID – Beberapa hari lalu, perusahaan startup Indonesia seperti LinkAja, Zenius, SiCepat, dan JD.ID melakukan pemutusan hubungan kerja kepada sejumlah karyawannya. Hal...

Elon Musk Batal Bangun Pabrik Tesla di India, Peluang Indonesia Semakin Besar

TELENEWS.ID – Dikutip dari India Times dan ABP Live, Elon Musk memutuskan untuk tidak berinvestasi di India dalam membangun pabrik mobil Tesla...

Ibukota Akan Pindah, Bagaimana Pertahanan Udaranya?

TELENEWS.ID - Pemindahan Ibukota negara ke Penajam, Paser Utara, Kalimantan Timur harus dibarengi dengan pertahanan udara yang maksimal. Karena, posisi Ibukota tersebut...

Pemprov DKI Mengandalkan SPAM untuk Mengatasi Akses Air Bersih

TELENEWS.ID - Untuk mengatasi masalah banjir dan juga menanggulangi masalah air bersih di DKI Jakarta, Pemprov DKI Jakarta mendapatkan kucuran dana dari...