TELENEWS.ID – Menyusul kebijakan WFH atau Work From Home yang sudah diberlakukan hampir selama 2 tahun, arus lalu lintas di ibukota Jakarta juga ikut terkena imbasnya. Kemacetan yang ada di ibukota kita bisa berkurang karena mobilitas pekerja yang menggunakan kendaraan berkurang. Namun, data yang dirilis oleh TomTom Index justru memberikan fakta yang mengejutkan.
Dalam satu pekan terakhir, justru terlihat peningkatan arus di ibukota Jakarta, terutama dalam jam-jam tertentu. Bahkan, berdasarkan data yang dirilis tersebut, peningkatan arus lalu lintas justru menunjukkan tren konsisten, dan melebihi rata-rata kemacetan pada tahun 2019 sebelum pandemi, dan juga pada tahun 2021, ketika pandemi dimulai dan kebijakan WFH diberlakukan.
TomTom sendiri adalah sebuah perusahaan yang memiliki spesialisasi teknologi geolokasi yang memiliki basis di Belanda. Setiap tahunnya, mereka merilis daftar kota yang paling macet di dunia. Data yang dirilis oleh TomTom pada 29 Maret 2022, misalnya menyebutkan bahwa arus lalu lintas di DKI mengalami kenaikan hingga 39 persen, dan peningkatan arus sudah terlihat sejak pukul 6 pagi. Sementara puncaknya terjadi pada pukul 6 sore, saat jam bubar kantor dengan persentase mencapai 37% lebih tinggi dari periode yang sama di tahun 2019 dan juga tahun 2021 lalu.
Data yang merilis arus lalu lintas dalam sepekan tersebut juga mencatat bahwa kemacetan paling parah terjadi pada hari Kamis, 31 Maret 2022 lalu yang meningkat hingga mencapai 58 persen. Jam rawan macet tersebut terjadi sesuai prediksi yakni pada pukul 6 sore. Kepadatan arus lalu lintas di DKI ini baru mereda pada hari Minggu, 3 April 2022 yang menurun sebanyak 13 persen, terutama pada pukul 5 sore.
Prestasi Jakarta yang menduduki urutan 46 kota termacet di dunia sebenarnya hanya mengalami penurunan sebanyak 2 persen yakni dari 36 persen di tahun 2020, dan menurun menjadi 34 persen di tahun 2021 ini. Maksud dari tingkat kemacetan sebanyak 34 persen ini adalah waktu tempuh perjalanan menjadi 34 persen lebih lama dibandingkan kondisi normal.
Contohnya, saat perjalanan normal, dari titik A ke titik B membutuhkan waktu selama 30 menit. Dengan jarak dan juga waktu yang sama, jika dalam keadaan macet, maka waktu tempuhnya bertambah sebanyak 34 persen dari waktu normal. Singkatnya, perjalanan dari titik A ke titik B akan memakan waktu sekitar 40 menit.
Meskipun data yang dirilis oleh TomTom tersebut menurun, warga Jakarta tetap harus menghadapi kenyataan bahwa mereka harus tetap terjebak di jalanan terutama ketika jam-jam sibuk. Berdasarkan rata-rata yang dirilis oleh TomTom tersebut, warga DKI harus kehilangan 123 jam atau 5 hari 3 jam dalam hidup mereka akibat terjebak di jalan raya.
Data tersebut masih lebih baik ketimbang data tahun sebelumnya yang menyebut bahwa warga DKI membuang 126 jam atau setara dengan 5 hari 6 jam hidup mereka. Di tahun 2019 justru lebih parah lagi dengan mencatat 174 jam atau selama 7 hari lebih hanya untuk terjebak di jalan raya akibat macet.
Kemacetan di DKI Jakarta menjadi salah satu fokus dalam setiap era Gubernur sejak era modern di Jakarta. Namun, khusus untuk masalah kemacetan ini, memang harus ada peran serta dari masyarakatnya juga yang harus beralih menggunakan moda transportasi massal untuk melakukan aktivitas mereka selama berada di ibukota ini. (Latief)