TELENEWS. id, JAKARTA – Pengamat Politik Wempy Hadir mengatakan, potensi politik uang atau money politik dalam pilkada tahun 2020 sangat rentan. Hal ini tentu dipengaruhi oleh faktor sosial yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Bahkan dalam situasi normal tanpa ada Covid19 saja, politik uang masih berpotensi terjadi.
Wempy menyebutkan, dengan adanya situasi sosial yang merosot akibat Covid19, banyak yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan.
“Masyarakat tentu membutuhkan bantuan dari pemerintah dan pihak-pihak yang lain. Pas momentum pilkada seperti ini, para calon kepala daerah tidak jarang melakukan modus dalam bentuk bantuan sosial kepada masyarakat ,” kata Wempy kepada telenews.id, Selasa (25/8/2020).
Namun terkadang bantuan sosial semacam ini diharapakan ada feedback terhadap sang pemberi sembako tersebut.
” Lebih parah lagi kalau ada calon kepala daerah petahana, maka dia akan sangat diuntungkan dengan adanya Covid19. Sebab dia bisa menggunakan bantuan sosial yang dimiliki oleh Pemda untuk menaikan elektabilitasnya,” ujarnya.
Selain itu, Direktur Eksekutif Indo Polling Network ini menjelaskan, bahwa kerawanan dalam Politik uang seperti mesti ada perhatian serius dari badan pengawas pemilu (Bawaslu) agar praktek money politik dalam berbagai bentuk tidak marak terjadi.
Selain itu, kata dia, demokrasi di Indonesia tidak boleh dibajak oleh kepentingan orang-orang yang hanya ingin berkuasa dengan membeli suara rakyat. Mestinya para calon mendesain program unggulan untuk mengatasi berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat saat ini.
Selain peran penyelenggara, peran LSM, tokoh adat, tokoh agama dan elemen mahasiswa mesti melakukan pengawalan terhadap Pilkada, agar memastikan pilkada tidak dibajak oleh kepentingan oligarki.
Sebelumnya, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Erna Kasypiah, mengatakan kerawanan terjadinya politik uang jelang Pilkada 2020 cukup tinggi.
“Potensi kerawanan cukup tinggi pada saat Pilkada saat ini,” kata Erna melalui keterangannya, Sabtu (22/8/2020).
Menurut Erna, potensi merebaknya praktek politik uang bisa disebabkan karena faktor kondisi perekonomian masyarakat, yang melemah akibat dihantam efek pandemi Covid-19.
Erna menuturkan, kondisi ini disinyalir bisa memudahkan oknum yang menghalalkan praktek politik uang untuk membujuk, dan mempengaruhi calon pemilih khususnya di kalangan ekonomi menengah ke bawah dengan mengiming-imingi rupiah.
“Bisa jadi juga merebaknya politik uang, karena kondisi ekonomi masyarakat melemah lalu dimanfaatkan oleh oknum yang ingin mencalon sehingga money politik bisa marak kembali terjadi,” paparnya.
Tak bisa dipungkiri, kondisi pandemi Covid-19 di Kalsel tak hanya berpengaruh pada aspek kesehatan namun juga sosial dan ekonomi masyarakat.
Selain risiko pelanggaran terkait politik uang, Erna juga menyebut beberapa faktor kerawanan lainnya yang diwaspadai Bawaslu termasuk pada rangkaian proses penetapan daftar pemilih tetap (DPT), dan tahapan kampanye yang pasti berbeda dibanding Pilkada sebelumnya karena kondisi pandemi.
“Akan ada perubahan regulasi pelaksanaan kampanye misalnya. Itu sampai hari ini masih meraba mungkin nanti kampanye lebih banyak melalui daring dan medsos tidak lagi bertatap muka atau rapat umum melibatkan banyak orang,” tambahnya.(TN).