Home Nasional Hukum Yang Berseragam yang Berkuasa, Indonesia Darurat Impunitas

Yang Berseragam yang Berkuasa, Indonesia Darurat Impunitas

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas Aparat menyebut masih menemukan praktik penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum (APH) dalam mengejar pengakuan saat dilakukan pemeriksaan hingga sebagai bentuk penghukuman terhadap terduga pelaku pidana.

Dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (25/6), Koalisi menyebut bahwa berulangnya praktik penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum ini makin diperparah dengan sulitnya menuntut para pelaku penyiksaan ke proses peradilan pidana. Hal itu nampak dari berbagai kasus yang koalisi tangani.

Koalisi merinci, sejumlah kasus itu diantaranya dialami oleh Henry Alfree Bakari di Batam pada 6 Agustus 2020 silam. Henry dituduh terlibat kasus atas kejahatan narkotika. Dalam proses penangkapan yang dilakukan oleh penyidik Polres Barelang, sangat disayangkan Henry mengalami sejumlah tindakan penyiksaan dan berakibat membekas pada tubuh Henry sebagai korban.

Sementara itu, kasus kedua yang ditangani oleh koalisi dialami oleh Tri Kurnia Yunianto seorang Jurnalis di KataData pada tahun 2019 silam. Korban mengalami tindak kekerasan saat sedang melakukan peliputan di halaman belakang Gedung DPR/MPR pada tanggal 24 September 2019 yang lalu. Kronologinya, saat korban meliput dengan cara merekam video kericuhan, tiba-tiba ada beberapa aparat kepolisian datang menghampiri korban sambil menanyakan tujuan merekam video kericuhan tersebut.

Pada 4 Oktober 2019, sambungnya, pendamping hukum dan korban sudah mengajukan pengaduan ke Polda Metro Jaya. Namun hingga saat ini tidak ada perkembangan dari pihak kepolisian atas pengaduan tersebut, hasilnya kasusnya pun mandek di tengah jalan.

Kasus selanjutnya dialami oleh korban salah tangkap oleh kepolisian yakni Andro dan Nurdin pada tahun 2015. Keduanya diketahui merupakan pengamen yang kebetulan melihat mayat korban pembunuhan di kolong jembatan Cipulir, Jakarta Selatan.

Kemudian, polisi membawa mereka ke kantor dan mereka mengalami serangkaian penyiksaan berupa penyetruman, pemukulan, hingga pemasangan lakban pada wajah mereka dengan motif memaksa mereka untuk mengaku dan dijadikan kambing hitam.

Kepastian mereka merupakan korban salah tangkap terbukti dari Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa Andro dan kawan lainnya tidak terbukti bersalah dalam peristiwa pembunuhan tersebut. Mereka hanya berada dalam waktu dan tempat yang salah sehingga akhirnya dipaksa mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan.

Koalisi menjelaskan bahwa kasus-kasus di atas hanya sebagian dari berbagai kasus penyiksaan yang mereka tangani. Seringkali saat koalisi berupaya mengadukan para pelaku, pengaduan yang diajukan ditolak, dengan alasan yang tidak jelas. Itu adalah tantangan sekaligus ganjalan yang dialami oleh koalisi.

Koalisi kemudian menuturkan, sekalipun kasusnya diterima, namun tetap saja kasusnya kerap jalan di tempat atau mengalami kemandekan begitu saja. Pun ketika diproses, hanya sebatas pada proses disiplin atau etik. Apabila berlanjut melalui mekanisme peradilan pidana, vonis yang dijatuhkan kepada para pelaku pun tergolong ringan.

Saat ini, koalisi menggambarkan bahwa Indonesia sedang mengalami darurat impunitas. Yakni kondisi dimana negara memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM).

“Kondisi ini juga jelas dikarenakan pengaturan hukum acara pidana yang tidak memadai dalam ketentuan KUHAP saat ini. KUHAP dirumuskan tidak sesuai dengan standar HAM. Penyidik dapat melakukan penangkapan, bahkan dalam jangka waktu berhari-hari. Masa penahanan pun dapat ditentukan dengan mudah oleh penyidik kepolisian,” lanjut koalisi.

Padahal menurut koalisi, dalam instrumen penegakan HAM International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah Indonesia ratifikasi, diketahui pengekangan kebebasan seseorang dalam lingkup peradilan pidana hanya bisa dilakukan maksimal 48 jam saja. Setelah 48 jam tersebut orang itu harus dihadapkan kepada pengadilan.

Penahanan pun tidak dapat dilakukan pada institusi kepolisian serta harus berada di tempat yang berbeda. Sayangnya, ketentuan dalam KUHAP masih mengatur kebolehan adanya tempat penahanan di kantor-kantor kepolisian yang pada penerapannya masih menjadi sarang terjadinya penyiksaan.

Untuk itu Koalisi mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk menerima pengaduan yang diajukan koalisi terkait kasus-kasus penyiksaan yang melibatkan aparat kepolisian, dan kemudian menindaklanjutinya dengan memerintahkan jajarannya untuk menuntaskan kasus tersebut. Sekaligus mendorong para kapolda untuk tegas kepada anggotanya bilamana terlibat kasus penyiksaan dengan menggunakan pendekatan pemidanaan.

Pertanyaan sederhana kemudian muncul dalam perspektif hukum yang mudah untuk dikemukakan, apakah pergerakan masyarakat sipil yang menuntut keadilan begitu mengancam institusi tersebut hingga serangkaian impunitas dalam penyidikan halal untuk dilakukan?

Jika jawabannya adalah iya, inilah kesalahan substansial pihak aparat.

Mengapa polisi begitu agresif dan sigap membuntuti setiap aktivitas masyarakat sipil? Apakah agresivitas polisi ini inisiatif dari perintah pemimpin kepolisian di tingkat daerah ataupun pusat, yang ingin menunjukkan keberanian dalam bertindak, sebagaimana isyarat dari kriteria pemimpin Polri yang dikehendaki presiden, yaitu berani, tegas dan tidak takut kehilangan jabatan? Sayangnya keberanian ini disalahtafsirkan dan justru jadi blunder, karena berisiko menjadi berlebihan.

Keganjilan inilah yang menyebabkan munculnya tudingan sinis dan keras kepada kepolisian sebagai institusi negara. Misalnya contoh kasus yang baru-baru ini menyita perhatian publik adalah peristiwa penembakan terhadap orang sipil yang menghilangkan nyawa enam anggota FPI yang dianggap merupakan bentuk kekerasan negara terhadap warga negara, serta dikategorikan sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), serta pelanggaran HAM berat.

Tindakan kekerasan dengan menggunakan senjata api atau kekerasan dalam penyidikan oleh petugas kepolisian bukanlah tanpa dasar regulasi yang ketat. Pada masa masa sebelumnya, tindakan dari kepolisian di lapangan ini secara terukur dan konsisten harus merujuk kepada prinsip kepatutan serta proporsionalitas, setidaknya berdasarkan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan.

Kala itu, Kapolri Tito Karnavian yang saat ini menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, menginisiasi terbangunnya Kepolisian RI yang promoter atau professional, modern dan terpercaya. Tidak memberikan ruang terjadinya peristiwa konyol seperti ini.

Polisi yang profesional tidak mungkin melakukan penembakan terhadap warga sipil yang tidak setara dengan pelanggaran hukum yang dilakukannya. Apalagi sampai menghilangkan nyawa warga negara secara sia-sia. Jika hal ini terjadi maka tidak ada alasan pembenarnya.

Aparat kepolisian dibolehkan menggunakan senjata api hanya terhadap mereka yang memiliki bukti cukup telah melakukan kejahatan berat dan melakukan perlawanan ketika hendak ditangkap, hingga dinilai membahayakan nyawa petugas. Itupun harus melewati prosedur baku sebelum bertindak, yakni petugas harus menunjukkan identitasnya, memberikan peringatan, memberikan waktu kepada tersangka untuk menyerah, dan jika melawan barulah diberikan tembakan peringatan.

Dengan semua pertimbangan tersebut, maka patutlah jika kinerja polri dievaluasi dan tidak bertindak represif yang biasanya dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Sepatutnya, jika ada peristiwa yang harus segera diungkap, maka perlu berhati-hati dalam mengungkap agar kepercayaan publik tidak kian meluntur.

Bukankah seyogyanya, kepolisian melindungi masyarakat dan memberi keamanan agar masyarakat bisa beraktivitas secara tenang selama 24 jam tanpa ancaman?

Dunia kini sedang menyoroti negeri ini. Jangan sampai negera Indonesia dilabeli sebagai bangsa yang seenaknya merampas hak hidup warga negaranya. (Uswatun)

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

6 Manfaat Batubara Selain Dikenal Barang Tambang Ekspor

TELENEWS.ID - Manfaat batubara tidak hanya sebagai barang ekspor dengan nilai investasi tinggi. Pada dasarnya batubara mampu dijadikan akses bahan bakar pembangkit...

Belajar dari Citra Kirana, Ini Tips Menerima Masa Lalu Pasangan dengan Lapang Dada

TELENEWS.ID - Keputusan Citra Kirana untuk secara terbuka menerima masa lalu sang suami, Rezky Aditya membuat banyak orang salut padanya. Bagaimana tidak...

Waspada, Kebiasaan Mengkonsumsi Zat Ini Bisa Merusak Ususmu

TELENEWS.ID - Makan bukan hanya memasukkan makanan ke dalam mulut dan sekedar membuat perut terasa kenyang saja. Namun kita juga perlu memperhatikan...

Ternyata Bukan Raffi Ahmad yang Akuisisi Saham US Lecce

TELENEWS.ID – Sejak 27 Mei kemarin pemberitaan di Indonesia heboh dengan kabar bahwa Raffi Ahmad membeli saham club sepak bola asal Italia,...