TELENEWS.ID – Kebangkrutan Sri Lanka menjadi pembelajaran berharga bagi seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Bangkrutnya Sri Lanka salah satunya disebabkan oleh hutang yang tidak dapat dilunasi negara sebesar 50,72 Juta Dollar Amerika Serikat atau setara dengan 754,8 triliun rupiah. Selain itu hutang yang begitu besar ini didapatkan Sri Lanka akibat terlalu nikmatnya sebuah negara mengandalkan import dibandingkan memanfaatkan produk dan sumber daya dalam negeri.
Sri Lanka diketahui hanya mengandalkan pendapatan negara dari pariwisata saja. Ketika pandemic covid-19 terjadi selama kurang lebih 2 tahun. Pariwisata Sri Lanka lumpuh total dan itu membuat tidak adanya pemasukan bagi negara. Walaupun Sri Lanka tidak seperti Indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alam, namun seharusnya pemerintah dapat memaksimalkan produk dalam negeri dan sumber daya manusia yang ada untuk mendongkrak devisa negara, atau setidaknya mencukupi kebutuhan masyarakatnya sendiri. Negara Sri Lanka yang cukup kecil dengan penduduk yang tidak terlalu banyak dan proporsional bagi ukuran negara, membuat sejumlah pengamat menganggap tidak ada alasan bagi pemerintah Sri Lanka gagal dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Belajar dari apa yang dialami Sri Lanka, pengamat ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani meyakini hal serupa tidak akan terjadi kepada Indonesia. Salah satu faktor yang dipaparkan Ajib adalah dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang, perputaran roda ekonomi negara dipastikan akan terus bergerak. Pemerintah juga saat ini sedang mengalami momentum positif kebangkitan devisa negara baik dari sector perdagangan, pariwisata, hingga perkembangan digital dan ekonomi kreatif pasca pandemi covid-19. Hal ini akan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat perputaran ekonomi dunia.
Selain itu, Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Pitter Abdullah menuturkan bahwa Indonesia tidak akan terdampak dengan bangkrutnya Sri Lanka karena kedua negara ini tidak ada hubungan ekonomi yang terjalin.
Berkaca dari Sri Lanka, sebenarnya Indonesia juga masih memiliki hutang yang terbilang cukup besar di luar negeri. Posisi Indonesia di kuartal I tahun 2022 ini memiliki hutang luar negeri sebesar 411,5 miliar Dollar Amerika. Namun jumlah ini masih terbilang aman jika dibandingkan dengan pendapatan negara yaitu diangka 39,09%. Menteri Keuangan, Sri Mulyani menjelaskan posisi suatu negara dikatakan aman dalam rasio hutang jika memiliki kurang dari 40% dibandingkan dengan pendapatan dari negara tersebut. Pemerintah juga terus menekan nilai hutang Indonesia sembari melunasi hutang yang sudah ada untuk meringangkan beban negara dan menstabilkan rasio.
Selain terus menekan angka import dan menggenjot produksi dalam negeri, pemerintah juga terus mencari investor agar Indonesia mampu membangun pabrik listrik dan baterai agar pemanfaatan batu bara yang sangat banyak di Indonesia bisa dimanfaatkan negara secara maksimal dengan tidak lagi menjualnya dalam bentuk bahan mentah. Selain itu, dibidang pariwisata dan ekonomi kreatif serta digital, Indonesia terus berkembang tidak ketinggalan dengan masyarakat Barat dan Eropa. Bahkan Indonesia menjadi salah satu negara unggul dibandingkan negara ASEAN lain untuk hal ini.
Cara pemerintah lainnya untuk mencegah terjadi kejadian serupa Sri Lanka adalah dengan bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI). BI hingga saat ini terus menggelontorkan surat berharga negara (SBN) dengan netto sebesar 133,6 triliun atau turun sekitar 60,4%. Angka ini turun dibandingkan dengan tahun 2021. Pemerintah sendiri mendapat pinjaman sebesar 16 triliun rupiah dari BI. BI juga membantu pemerintah dengan menerapkan skema surat keputusan bersama (SKB) I sebesar 15,3 triliun rupiah untuk negara menggunakan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Surat Utang Negara (SUN).
Selain itu BI juga berencana akan melanjutkan skema SKB II pada semester II dan skema SKB III untuk membantu pemerintah dalam memenuhi anggaran bantuan sosial dan kesehatan masyarakat. (Angela Limawan)