Home Gaya hidup Workaholic Bukan Pekerja Keras

Workaholic Bukan Pekerja Keras

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Bekerja menjadi bagian dari aspek kehidupan manusia untuk bisa memenuhi berbagai kebutuhan hidup, baik primer, sekunder maupun tersier. Namun bagaimana dengan workaholic, orang yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk bekerja, alias kecanduan bekerja?

Workaholism adalah istilah yang sering digunakan untuk mendeskripsikan pola hidup individu yang hanya berkutat pada urusan pekerjaan. Meskipun tidak termasuk dalam jenis adiksi secara medis, beberapa jurnal akademisi mendeskripsikan orang dengan workaholism sebagai individu yang ketagihan akan bekerja dan hampir tidak bisa mengontrolnya. Hal ini tertulis dalam jurnal Work addiction: An organizational behavior as well as an addictive behavior?

Fenomena workaholism tentu dilihat dari banyak sisi oleh banyak pihak. Mereka yang menilai workaholism sebagai sesuatu yang positif, menyimpulkan bahwa workaholic adalah orang yang menikmati pekerjaannya dan terobsesi dengan hasil pekerjaannya walaupun sedang dalam tekanan dan tuntutan.

Workaholic sering disalah artikan sebagai pekerja keras. Padahal, ada perbedaan di antara keduanya. Laman BBC mengumpulkan berbagai persepsi dari banyak pimpinan perusahaan mengenai perbedaan workaholic dengan pekerja keras.

“Pekerja keras dan pecandu kerja (workaholic) terlihat sama dari luar. Mereka berdua terlihat seperti pekerja keras. Namun perbedaannya adalah bagaimana perasaan individu terhadap hubungan mereka dengan pekerjaan mereka,” tulis Gordon Gordon, Mitra Pendiri New Higher dalam postingannya di High Performers vs Workaholics.

Tujuan utama dari seorang pecandu kerja, menurut Gordon, adalah untuk tetap sibuk. Mereka (workaholic) akan selalu merasa butuh untuk tetap sibuk karena waktu senggang membuatnya cemas. “Bersantai di waktu senggang juga dirasa sebagai kegiatan yang sia-sia bagi mereka, sehingga cenderung merasa cemas ketika tidak sedang melakukan apa-apa,” ujar Gordon menambahkan.

Pekerja keras tahu betul kapan mereka harus berhenti kerja, sedangkan workaholic justru kebalikannya. Mereka tidak tahu kapan harus berhenti dan cenderung terus merasa belum cukup, baik diri mereka sendiri, atau hasil pekerjaan mereka, maupun imbalan yang mereka dapat dari pekerjaan mereka.

Pekerja keras juga tahu pentingnya nilai mereka, sedangkan workaholic bergantung pada justifikasi dari luar untuk tahu seberapa penting nilai mereka. Workaholic umumnya mengandalkan evaluasi dari orang lain untuk mengukur seberapa jauh dan seberapa baik mereka bekerja. Sehingga, mereka akan terus bekerja hingga evaluasi tersebut disampaikan.

Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai workaholic, laman Forbes melakukan wawancara dengan Dr. Ross Nelson, seorang Konsultan Program Kesehatan Perilaku di Crossover Health dan psikolog klinis berlisensi. Nelson berspesialisasi dalam Terapi Perilaku Kognitif dan mengabdikan diri untuk membentuk dan menskalakan sistem perawatan mental.

Menurut Dr. Ross, istilah dan fenomena workaholic telah lama diteliti sejak 1971. Ada beberapa kriteria yang mendefinisikan seseorang sebagai workaholic. Beberapa yang utama di antaranya adalah ketika (1) individu secara sukarela bekerja lebih ekstra dari yang diharapkan tanpa memperdulikan konsekuensi negatifnya, (2) selalu memikirkan pekerjaan di waktu senggang dan beristirahat, (3) merasa ada tekanan yang mendorongnya untuk harus terus bekerja.

Laman kesehatan Healthline juga memaparkan lebih detail mengenai ciri-ciri workaholism, yaitu:

  • Berlarut-larut dalam hal waktu di kantor untuk terus bekerja.
  • Kehilangan waktu tidur demi menyelesaikan pekerjaan.
  • Terobsesi dengan kesuksesan yang berhubungan dengan pekerjaan.
  • Paranoid untuk gagal di tempat kerja.
  • Paranoid tentang kinerja yang berhubungan dengan pekerjaan.
  • Hubungan pribadi yang hancur karena memprioritaskan pekerjaan.
  • Memiliki sikap defensif terhadap orang lain tentang pekerjaan mereka.
  • Bekerja sebagai cara untuk menghindari hubungan dengan orang lain.
  • Bekerja sebagai pelarian dari perasaan bersalah atau depresi.
  • Bekerja pelarian dari masalah krisis seperti kematian, perceraian, atau masalah keuangan.

Workaholism yang parah juga bisa menandakan adanya tanda-tanda gangguan psikis, termasuk gangguan obsesif-kompulsif (OCD), attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), depresi, hingga kecemasan. Hal ini disebutkan dalam sebuah studi berjudul ‘The Relationships between Workaholism and Symptoms of Psychiatric Disorders: A Large-Scale Cross-Sectional Study. Studi ini meneliti prevalensi kecanduan kerja dan seberapa sering kondisi tersebut bersinggungan dengan gejala penyakit kejiwaan.

Meskipun begitu, belum ada penelitian lebih dalam mengenai hubungan antara adanya gangguan psikis dengan workaholism, apakah gangguan psikis yang memancing workaholism, atau justru sebaliknya. Sedangkan, jika menghubungkan masalah kecemasan dan rasa ketidakpercayaan diri, bekerja secara berlebihan dilihat sebagai mekanisma pelarian.

Rob Dobrenski, Ph.D., seorang psikolog klinis berlisensi di kota New York dan penulis Crazy: Notes on and off the Couch mengatakan, dalam beberapa kasus, bekerja bisa menjadi bentuk terapi yang memberikan tujuan dan makna bagi pelakunya. Sekaligus, menjadi cara untuk berkontribusi pada masyarakat dalam rangka mengembangkan dan mempertahankan harga diri.

Studi dan pendapat para pakar di atas sekiranya menjadi dasar atas mengapa menjadi pecandu kerja tak selamanya baik. Tanpa pengobatan, individu dengan kecanduan kerja dapat mengasingkan diri dari teman dan keluarga. Selain itu, stres kronis yang kadang-kadang diakibatkan oleh kerja terus-menerus dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik. Temuan ini muncul dari sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of the American Medical Association (JAMA).

Orang dengan kecanduan kerja sering kali bekerja untuk menghindari perasaan bersalah karena tidak bekerja. Jadi, penting bagi pecandu yang sedang memulihkan diri untuk mengembangkan hubungan yang sehat dengan pekerjaan.

Kerja yang berlebihan juga dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan peningkatan risiko penyakit. Tapi untungnya, kecanduan kerja bisa diatasi. Dengan pengobatan, orang dapat memulihkan keseimbangan kerja yang sehat dalam hidup mereka.

Walaupun workaholism terdengar layaknya gaya hidup dengan tujuan dan kerja keras, realita di dalamnya tidaklah demikian. Kembali lagi pada prinsip “apapun yang berlebihan tidak baik”, kehidupan yang sehat adalah yang seimbang, di mana yang menjalaninya dapat memisahkan waktu untuk dirinya dan untuk hal lain sesuai porsinya. Jika satu aspek kehidupan telah menggerogoti dan menumbangkan aspek kehidupan lainnya, hal itu merupakan tanda bahwa kita sudah berlebihan dalam menjalaninya.

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

Resmikan Groundbreaking Hilirisasi Batu Bara Jadi DME, Jokowi: Mau Sampai Kapan Impor Terus?

TELENEWS.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, groundbreaking proyek hilirisasi batu bara menjadi dimetil meter atau DME di Kabupaten Muara Enim, Sumatera...

Kronologi OTT Kasus Korupsi Bupati Penajem Paser Utara

TELENEWS.ID - Nur Afifah Balqis sedang ramai menjadi perbincangan publik nasional akhir-akhir ini karena menjadi salah satu tersangka OTT KPK dan terlibat...

Kisruh Arteri Dahlan Mengancam Elektabilitas PDIP

TELENEWS.ID – Anggota komisi III DPR RI dari fraksi PDIP, Arteri Dahlan membuat gaduh Indonesia. Arteria meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin mencopot...

Kemanakah Ridwan Kamil Berlabuh Untuk Pilpres 2024 ?

TELENEWS.ID - Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2024. Namun hingga saat ini masih belum ada partai...