TELENEWS.ID – Kepergian Eril tak hanya meninggalkan duka yang mendalam untuk Ridwan Kamil dan keluarganya. Sang kekasih, Nabila Ishma tak kalah merasakan kepedihan akibat kepergian orang yang ia cintai untuk selama-lamanya.
Namun agaknya Nabila sendiri berusaha mengikhlaskan kepergian sang kekasih untuk selama-lamanya. Meski tampak terpukul dan kehilangan, Nabila berjanji akan terus melanjutkan hidup meski tanpa Eril di sisinya.
“I promise you, I will find my own happiness and keep living my life, like you want me to do (Aku berjanji akan mencari kebahagiaanku sendiri dan melanjutkan hidup, seperti yang kamu mau),” tulis Nabila di akun Instagram miliknya.
“You don’t have to worry anything no more (Kamu jangan khawatir lagi). Insya Allah mulai sekarang aku akan kuat dan ikhlas,” tulisnya lagi di akun media sosial miliknya itu.
Kehilangan orang yang dicintai untuk selama-lamanya seperti yang dialami oleh Nabila tentu saja meninggalkan duka yang mendalam. Bahkan menurut sebuah penelitian, kematian orang yang dicintai memberikan efek yang sama fatalnya dengan cidera otak.
Para ilmuwan melihat pengalaman kehilangan traumatis sebagai jenis cedera otak. Otak memperbaiki dirinya sendiri yang merupakan sebuah proses yang disebut neuroplastisitas, sebagai respons terhadap trauma emosional, yang memiliki efek mendalam pada otak, pikiran, dan tubuh.
Dalam upaya untuk mengelola pikiran dan emosi yang berlebihan sambil mempertahankan fungsinya, otak bertindak sebagai filter super untuk menjaga ingatan dan emosi dalam zona yang dapat ditoleransi atau melenyapkannya sama sekali. Menurut sebuah studi tahun 2019 yang diterbitkan dalam Social Cognitive and Affective Neuroscience, orang yang berduka meminimalkan kesadaran akan pikiran yang terkait dengan kehilangan mereka. Hasilnya: kecemasan yang meningkat dan ketidakmampuan untuk berpikir jernih.
Selain disamakan dengan mereka yang mengalami cidera otak, mereka yang berduka dengan sangat mendalam akibat kehilangan orang yang dicintai bisa memicu munculnya PTSD (Posttraumatic Stress Disorder) atau yang dikenal dengan gangguan stress pasca trauma.
Menurut definisi, PTSD dapat terjadi ketika seseorang “mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan pada peristiwa yang mengerikan.” Berita tentang kematian yang tidak terduga, sudah pasti memunculkan emosi yang sangat kuat karena membuat kita lengah. Kematian yang tragis memperbesar perasaan traumatis itu.
Faktanya sebuah studi tahun 2014 oleh Keyes, et al, mencatat bahwa, “kematian tak terduga dikaitkan secara konsisten dengan peningkatan kemungkinan timbulnya PTSD baru, gangguan panik, dan episode depresi di semua tahap perjalanan hidup”.
Dr Stephen Regel, Psikoterapis Perilaku Kognitif pada The Center for Trauma & Resilience mengatakan bahwa kemungkinan orang yang berduka mengalami PTSD itu cukup besar, namun gangguan pasca trauma bukan satu-satunya gangguan mental yang akan dialami oleh seseorang.
“Berkabung mendadak sering mengakibatkan masalah psikologis dan emosional namun tidak terbatas pada PTSD saja” kata dokter Regel. “Ketika seseorang sejak awal terdeteksi mengalami trauma, mereka cenderung tidak mengalami masalah jangka panjang. Namun ketika kondisi itu tidak terlihat sampai beberapa saat setelah kejadian, mereka biasanya memerlukan perawatan dalam jangka waktu yang lebih lama” tambahnya lagi.
Karena itulah dokter Regel menyarankan agar anggota keluarga yang lain atau orang terdekat selalu memastikan kondisi mereka yang sedang berkabung. Tidak membiarkan mereka sendirian dan selalu memberikan support, adalah hal yang diperlukan untuk mengatasi efek trauma yang terlalu lama.
Namun jika seseorang sudah mengalami trauma yang mendalam akibat PTSD setelah kehilangan orang yang dicintai, terapi dengan profesional dengan teknik Terapi Perilaku Kognitif (Cognitive Behavior Therapy= CBT) dan Desensitisasi dan Pemrosesan Ulang Gerakan Mata ( Eye Movement Desensitization and Reprocessing= EMDR) bisa dilakukan. (Yuyun Amalia)