Home Nasional Evaluasi Pendidikan, Nadiem dan Programnya Belum Merdeka

Evaluasi Pendidikan, Nadiem dan Programnya Belum Merdeka

Facebook
Twitter

TELENEWS.ID – Hingga saat ini, Kemendikbud-Ristek dinilai belum sepenuhnya mampu mengatasi krisis di bidang pendidikan, terutama masa pandemi. Melihat hal tersebut, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) segera membuat skenario pelayanan dan penyelenggaraan pendidikan nasional di masa pandemi Covid-19.

Mansur, Wakil Sekretaris Jenderal FSGI menyebut jika permasalahan kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak berhasil diatasi oleh Kemendikbud-Ristek. Malah Kemendikbud-Ristek seolah tidak berdaya dan kebingungan dalam mengatasi krisis ini.

Dalam keterangan tertulisnya pada Senin (3/5), Mansur menilai jika Program Guru Penggerak yang digadang-gadang akan menjadi jurus ampuh menuju merdeka belajar yang melibatkan ratusan fasilitator nyatanya hingga satu tahun kemudian masih belum terealisasi. Ia juga menyinggung jika pendidikan Indonesia keburu tenggelam pada masa sulit seperti saat ini.

Meski serangkaian kebijakan telah dibuat oleh Kemendikbud-Ristek, namun nyatanya belum dapat menunjukkan hasil yang diharapkan. Kemendikbud-Ristek seperti kehabisan akal menghadapi kendala PJJ. Justru, angka putus sekolah bertambah serta peserta didik dari keluarga miskin nyaris tidak terlayani karena ketiadaan alat daring untuk menunjang proses pembelajaran jarak jauh.

“Kekeliruan dari awal adalah Kemdikbud menjadikan BDR (belajar dari rumah) menjadi PJJ daring yang bertumpu pada internet, padahal disparitas digital sangat lebar antar daerah di Indonesia,” ujar Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo.

Kegagalan dalam penanganan dampak buruk pembelajaran jarak jauh dinilai mencapai puncak dengan relaksasi surat keputusan bersama atau SKB 4 Menteri yang akan membuka sekolah tatap muka serentak pada Juli 2021.

Disamping itu, pemberian kuota internet tidak disertai dengan pemetaan kebutuhan yang beragam dimana keluarga yang tidak mampu tidak memiliki gawai dan wilayah blank spot tidak terlayani PJJ.

Heru menilai jika seakan pembelajaran tatap muka (PTM) adalah opsi ampuh dalam mengatasi permasalahan pendidikan di masa pandemi. Akan tetapi, faktanya pandemi masih belum mampu untuk dikendalikan. Baik tenaga kependidikan maupun peserta didik sama-sama berisiko. Heru juga menyebut jika opsi PTM hanyalah kemalasan berpikir mencari terobosan lain.

Heru juga memaparkan kemalasan berpikir mencari terobosan lain ini dapat menimbulkan permasalahan berikutnya misalnya ledakan kasus covid-19 jika pembukaan sekolah tidak disertai kesiapan dan perlindungan berlapis untuk pendidik maupun peserta didik. Bahkan, setelah satuan pendidikan menggelar PTM, kasus covid malah melunjak.

Di lain sisi, kebijakan pendidikan dalam penanganan kendala pembelajaran jarak jauh cenderung bersifat menyeragamkan tanpa melihat berbagai kesenjangan yang lebar. Adapun peran kepala sekolah dalam mengatasi PJJ adalah tidak mampu mengelola sekolah secara khas sesuai kondisi masing-masing sekolah dan wilayah. Akibatnya, para guru yang kebingungan dalam melayani PJJ tidak mendapatkan bantuan, dukungan maupun solusi dari kepala sekolahnya.

Sementara itu, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menuturkan bahwa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim mengelola pendidikan dengan dua frasa kalimat yang justru kontradiktif. Yaitu ‘bergerak serentak’

Menurut P2G, berdasarkan fakta di lapangan, Kemendikbud-Ristek sangat minim melibatkan pemangku kepentingan pendidikan dalam mendesain kebijakan pendidikan nasional. Malah, Kemendikbud-Ristek seolah berjalan sendiri.

P2G mengevaluasi dengan menilai banyak kasus kebijakan Nadiem Makarim yang menuai polemik.

Diantaranya, pertama adalah Program Organisasi Penggerak yang menyebabkan organisasi besar seperti PGRI, Muhammadiyah dan NU lantas undur diri sebelum program tersebut dijalankan.

Kemudian, Merdeka Belajar yang menduplikasi hak merek dagang dari PT Sekolah Cikal.

Yang ketiga adalah hilangnya pelajaran Sejarah dalam rencana penyederhanaan kurikulum.

Keempat, sampai saat ini proses penyederhanaan kurikulum tidak transparan, tertutup, dan tidak melibatkan semua pemangku kepentingan.

Selanjutnya, masalah tidak adanya frasa ‘agama’ dalam peta jalan pendidikan dan keenam adalah hilangnya Bahasa Indonesia dan Pancasila dalam PP No. 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Terakhir, yang ketujuh adalah tidak dimasukkannya beberapa tokoh nasional dalam Kamus Sejarah Kemendikbud. Hilangnya nama-nama seperti KH. Hasyim Asyari, AH. Nasution, Sukarno, Abdurrahman Wahid dan Hatta. Malah, dalam Kamus Sejarah Kemendikbud memasukkan nama Abu Bakar Baasyir.

Adapun kasus PP No. 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan menurut P2G, sebenarnya juga menghilangkan peran pengawas sekolah, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), dan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan). Padahal, sambung P2G, empat komponen tersebut tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP SNP sebelumnya.

“Tentu kebijakan ini berpotensi melanggar UU Sistem Pendidikan Nasional dan nyata-nyata kontradiktif dengan semangat ‘serentak bergerak’. Begitu cerobohnya Kemendikbud membuat PP, sehingga menghilangkan Pancasila dan Bahasa Indonesia, serta tak melibatkan lembaga-lembaga terkait yang keberadaannya berdasarkan UU,” ujar Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim dalam keterangan tertulis, Minggu (5/2).

Berdasarkan hal tersebut, oleh P2G, Kemendikbud-Ristek didesak untuk segera mencabut PP No. 57 tahun 2021 tentang SNP tersebut. P2G juga menyayangkan sikap Nadiem yang menuding publik malah mispersepsi atas berbagai polemik kebijakannya. Malahan, Nadiem terkesan menganggap organisasi, masyarakat, dosen, guru dan Pusat Studi Pancasila tidak memahami UU dan PP.

Oleh P2G, Nadiem dan Kemendikbud-Ristek dinilai belum merdeka sepenuhnya dalam merencanakan dan mendesain kebijakan pendidikan nasional. Sebab, sudah menjadi rahasia umum jika Nadiem sangat bergantung kepada peran tunggal satu jaringan sekolah swasta tertentu dalam membangun koneksi kelembagaan selama ini.

P2G melanjutkan, setiap program dari Kemendikbud-Ristek selalu melibatkan jaringan lembaga think tank tersebut, tak lepas dalam rencana penyederhanaan kurikulum 2021. P2G juga menduga bahwa ada monopoli sekaligus dominasi dalam lingkaran jaringan satu lembaga swasta tertentu yang menguasai Kemendikbud-Ristek serta Nadiem saat ini.

“Lantas pertanyaan pokoknya, ‘Merdeka Belajar’ itu Merdeka dari apa dan Merdeka untuk apa?” pungkasnya. (Uswatun)

Facebook
Twitter

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Yoyic Dairy Indonesia

Most Popular

Ladies, Kenali 6 Tanda Cowok Parasit yang Perlu Diwaspadai

TELENEWS.ID - Hubungan mantan pasangan Laura Anna dan Gaga Muhammad kembali memanas. Laura yang merasa dirugikan baik secara fisik maupun finansial, akhirnya...

Mengenal Situationship yang Bisa Menjebakmu Dalam Hubungan Toxic Tanpa Status

TELENEWS.ID - Apakah kamu memiliki seorang teman yang memperlakukan kamu dengan mesra, dan memberikan perhatian lebih dari seorang teman? Akan tetapi sayangnya,...

Hati-hati, Dokter Peringatkan Bahaya Memakai Celana Jeans Ketat Bagi Organ Intim Wanita

TELENEWS.ID - Praktis, stylish dan bisa dipadukan dengan jenis busana apa saja membuat celana jeans menjadi salah satu item fashion favorit kaum...

Manchester United Ditangan Ralf Rangnick, Apakah Mampu Bersaing?

TELENEWS.ID - Belakangan nama Ralf Rangnick mencuat di kancah dunia sepak bola untuk menjadi juru taktik klub Manchester United. Seperti diketahui bersama,...