TELENEWS.ID – Ketua Centra Initiative sekaligus anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Al-A’raf menilai, kemauan Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan (Menhan) disinyalir berkaitan dengan sektor pertahanan yang dianggap ‘seksi’.
Dirinya mengaku curiga sebab ditilik dari perjalanan politik prabowo Subianto dari calon presiden (Capres) ke Menteri Pertahanan tidak hanya semata mengejar jabatan. Sebab, sektor pertahanan dianggap bakal memperoleh anggaran jumbo dan berpotensi tidak tersentuh oleh berbagai lembaga independen dengan dalih pertahanan dan keamanan.
Adapun rancangan politik pertahanan yang menelan dana besar tersebut menurut Al-A’raf, telah terlihat kala Omnibus Law Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diketok palu sah. UU Cipta Kerja pada sektor pertahanan dinilai nantinya bakal merombak politik pertahanan presiden dari 2014-2019 yang menginginkan kemandirian pertahanan dan terjaga independensinya.
“Itu digeser kemudian, ke arah liberalisasi pertahanan,” ucapnya dalam diskusi virtual, Rabu (9/6).
Omnibus Law UU Cipta Kerja di sektor pertahanan menurut Al-A’raft bakal menghambat upaya kemandirian pertahanan karena sektor swasta diberikan peran dan posisi. Bahkan tak ayal, sektor swasta dapat menjadi pemain utama dalam modernisasi alutsista karena sudah dijamin dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja. Tak hanya itu, Omnibus Law UU Cipta Kerja juga memberikan kewenangan yang lebih besar terhadap otoritas Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kata Al-A’raf, kewenangan Presiden sebagai Ketua Komite Industri Pertahanan atau KKIP dipangkas sedangkan KKIP saat ini memiliki kewenangan sebagai yang menentukan kebijakan pengadaan alutsista. A’raf bahkan menyebut ini sebagai sebuah transaksi politik.
“Mungkin, ini sebuah transaksi (politik). Nah, kok bisa KKIP itu bisa dihapus Omnibus Law, saya bingung yang membuat UU (ini) Presiden, tetapi kewenangan di KKIP dipangkas dan diam,” sambungnya.
Menurutnya, kemunculan PT Teknologi Militer Indonesia (TMI) serta peningkatan anggaran alutsista yang mencapai 1.700 triliun hingga tahun 2024 yang didesain oleh grup politik Menhan merupakan pertanda adanya upaya memonopoli. Di lain sisi, Kementerian Pertahanan bahkan belum membuat produk strategis misalnya kebijakan postur, buku putih, kebijakan strategi, sebelum menaikkan anggaran Kemhan senilai 1.700 triliun.
A’raf sendiri mengingatkan bahwa sebelum menjadi Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto sering mengkritik pemerintah yang suka menimbun hutang. Bahkan soal hutang piutang Indonesia disinggung dalam debat capres-cawapres silam yang bisa ditonton oleh masyarakat. Namun, ironisnya setelah menjadi Menteri Pertahanan di rezim Joko Widodo, Prabowo langsung berhutang 1.700 triliun.
Sebelumnya pada 4 Juni silam, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, Kemhan tidak perlu lagi membuat jalan baru dengan meningkatkan anggaran pertahanan sebesar Rp1.700 triliun hingga tahun 2024. Sebab, Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah merancang program minimum essential force (MEF) secara bertahap sejak 2009.
Belakangan muncul kecurigaan bahwa peningkatan anggaran sektor pertahanan ini tidak terlepas dari kepentingan politik kontestasi pemenangan Pemilu 2024 yang membutuhkan biaya tinggi dan pada akhirnya masuk ke kantong pribadi. (Uswatun)